Minggu, 07 September 2008



TEKNOLOGI PERCEPATAN PEMBENTUKAN BUDIDAYA GUBAL GAHARU
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) Kabupaten Ketapang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Tanjung Pura telah mengadakan Opservasi dan Presentasi pada tanggal, 7 Desember 2006 dan telah dihadiri oleh beberapa Dinas Instansi terkait.
Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ketapang FARHAN, SE,Msi. Dalam kata sambutannya secara singkat mengatakan bahwa masih adanya sebagian masyarakat di Pedesaan belum memahami cara mengambil Gubal Gaharu, yang sudah bisa diambil / panen. Selanjutnya dikatakan dengan adanya kegiatan Penelitian ini, karena sudah banyak kejadian bahwa sudah banyak jumlah pohon yang ditebang namun tidak terdapat gaharu, karena itu Kepala BAPPEDA mengharapkan Lembaga Penelitian dari Universitas Tanjung Pura agar kegiatan ini bisa bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan untuk mengadakan Penelitian secara terpadu.
Adapun tenaga Penelitian, selaku Ketua Penanggung Jawab, DR,Ir.Abdurrani Muin MS. Mengatakan “kegiatan ini sudah diuji coba di Kabupaten Kapuas Hulu, namun karena di Ketapang terdapat Gubal Gaharu yang asal alami dan asal tebang. Untuk mendapatkan Gubal Gaharu akan diadakan melalui Suntikan Gaharu yang terbuat dari Cendawan yang dikembang biakan. Di Ketapang Gaharu bisa tumbuh diantara Pohon-pohon lainnya seperti : Karet dan tumbuh-tumbuhan, karena pembuatannya sangat mudah dan umur kayu mencapai 5 (lima) Tahun sudah bisa ditebang / panen, dan hasil kayu gaharu ini di Exspor ke Singapura dengan harga yang cukup tinggi. Untuk itu dihimbau pada Masyarakat agar mulai saat ini agar segera menanam Kayu Gaharu di kebun-kebun atau perkarangan karena hasilnya sangat menjanjikan dengan pendapatan yang cukup besar bagi petani dan bisa meningkatkan PAD setempat.
Di Kabupaten Ketapang telah diuji coba di Desa Segagap Kacamatan Nanga Tayap dan sudah mencapai umur 6 (enam) Bulan, di harapkan di Daerah lain agar bisa mengikuti, sehingga beberapa tahun kedepan Ketapang bisa menjadi Daerah Pengexspor Gaharu terbesar ke Singapura. ( T a m r i n ).

Budidaya Gaharu Di TTS Gagal Total
30 Juni 2008 15:13 WIB
SoE, NTT ( Berita ) : Budidaya tanaman gaharu di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) gagal total karena sistem pemeliharaan yang rumit dan tanaman mudah stres di lingkungan baru.
“Kami sudah lakukan budidaya tanaman beraroma wangi itu pada areal sekitar dua hektare, tapi tingkat pertumbuhannya hanya sekitar 10 persen saja,” kata Kepala Dinas Kehutanan TTS, John Christian Mella kepada tim kunjungan kerja DPRD NTT di SoE, ibukota Kabupaten TTS, sekitar 110 km timur Kupang, Senin [30/06] .
Tim kunjungan kerja DPRD NTT yang dipimpin Marthen Asbanu (FPG) itu melihat proyek-proyek bantuan APBD NTT serta menjaring aspirasi rakyat untuk penyusunan anggaran 2009.
Ketika mendengar penjelasan dari Kadis Kehutanan TTS soal sulitnya pengembangan tanaman gaharu, Marthen Asbanu meminta Dinas Kehutanan NTT untuk menghentikan penyaluran bibit gaharu ke TTS untuk menekan anggaran belanja di bidang rehabilitasi hutan dan lahan.
Menurut Mella, pengadaan anakan gaharu itu di daerah Amfoang, sebuah kecamatan di Kabupaten Kupang yang teritorialnya berhadapan langsung dengan negara Timor Leste. “Anakan gaharu itu tidak disemai terlebih dahulu tetapi dicabut kemudian dimasukkan dalam polbet dan langsung didistribusi,” katanya melukiskan kegagalan gaharu di TTS yang pernah dikenal sebagai daerah penghasil kayu cendana terbesar di NTT itu.
Asbanu mengharapkan Dinas Kehutanan TTS terus membudidayakan tanaman cendana untuk mengembalikan kejayaan TTS sebagai daerah penghasil cendana terbesar di NTT.
Mella mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengembangkan tanaman cendana pada areal seluas 10 hektare dengan tingkat pertumbuhan yang cukup menjanjikan.
Tanaman beraroma wangi ini hanya bisa dipanen pada usia pohon di atas 40 tahun terhitung dari masa tanam. “Jika usia pohon cendana sudah di atas 40 tahun maka aroma wanginya sangat terasa jika dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 tahun,” kata Mella.
Tanaman cendana di TTS menjadi nyaris punah karena dalam usia 10 tahun sudah dibabat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena tergiur dengan mahalnya harga komoditas tersebut di pasaran gelap.
“Harga cendana di pasar gelap saat ini sekitar Rp8 juta/kg, sedang di pasaran umum antara Rp2,5 juta sampai Rp3 juta/kg,” katanya melukiskan nafsu orang-orang serakah terhadap harga kayu Cendana sehingga belum memasuki usia panen pun langsung dibabat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. (ant )

Nikmatnya Gaharu, Pahitnya Derita Perempuan Pedalaman Asmat
Kayu gaharu begitu penting bagi masyarakat pedalaman suku Asmat, Papua. Nilai gaharu sampai Rp 10 juta per kilogram untuk yang berkualitas prima. Tetapi, di balik perburuan gaharu tersimpan kekerasan terhadap perempuan. Pemicunya adalah minuman keras yang telah meracuni kehidupan lelaki pedalaman.
Kepala Puskesmas Asgon, Kabupaten Asmat, dr Pratono pekan lalu di Jayapura mengatakan, hampir setiap pekan ada ribuan botol minuman keras (miras) berbagai merek yang masuk Asmat. Minuman ini didatangkan pengusaha gaharu dari Sulawesi dan Surabaya dengan kapal ke berbagai wilayah pedalaman di Asmat dan Mappi. Jenis minuman beralkohol tinggi tertentu bahkan dihargai sampai Rp 1 juta per botol. Miras memicu berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di pedalaman Asmat.
"Dalam satu hari rata-rata kami menangani 3-5 pasien perempuan dan anak-anak yang terluka karena dianiaya suami atau ayah mereka. Ada ibu yang sedang hamil muda, hamil tua, sedang sakit parah, dan balita. Mereka mengalami luka, memar, dan patah tulang akibat penganiayaan dari orang mabuk yang juga anggota keluarga mereka sendiri," kata Pratono.
Pratono beberapa waktu lalu mengobati pelipis dan bahu seorang ibu yang sedang hamil tua. Ibu itu mendapat tiga jahitan di bagian pelipis. Luka-luka itu akibat pukulan suaminya yang baru saja pulang dari kota kecamatan menjual gaharu.
Uang hasil penjualan gaharu dihabiskan suami. Ketika sang istri menanyakan keberadaan uang, tidak ada jawaban memuaskan. Sang suami membela diri dengan mempersoalkan hal-hal sepele di rumah itu. Ujungnya adalah pemukulan terhadap istri.
Tidak ada lembaga atau yayasan yang membantu memperjuangkan hak dan nasib perempuan serta anak-anak di pedalaman, kecuali gereja setempat. Tetapi, kaum pria di daerah itu akan kembali melakukan kekerasan setelah meneguk minuman keras. Bahkan, antara kelompok lelaki dari berbagai suku pun sering terjadi perkelahian massal.
Perkelahian antara kelompok pemuda asal Ternate dan pemuda Buton tahun 2002-2003 yang menyebabkan kerusakan pada sejumlah hotel dan perumahan penduduk di Asgon berawal dari miras dan perebutan lahan gaharu. Ada geng dan kelompok pemuda di pedalaman Asmat dan Mappi, seperti Asgon, Atsy, Fayit, Assue, dan Senggo.
Pembentukan kelompok-kelompok pemuda ini berawal dari kelompok pencari gaharu di daerah itu. Setiap kelompok dipimpin seorang pemuda dengan anggota 5-20 orang. Mereka dibentuk sesuai suku asal, tetapi sering bergabung antara warga pendatang dan suku asli.
Persoalan menjadi rumit ketika kelompok pemuda ini dilanda miras dan mabuk. Hasil penjualan gaharu kepada para pedagang dan pengusaha gaharu digunakan untuk bersenang-senang, minum sampai mabuk, pesta, masuk bar/karaoke, dan mencari pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di daerah itu.
MEMBURU gaharu di pedalaman Asmat biasanya dilakukan oleh kelompok. Selain kelompok pemuda, ada juga kelompok yang terdiri atas anggota keluarga. Bapak, ibu, dan sejumlah anak yang dibantu anggota keluarga lain bergabung mencari gaharu di hutan-hutan. Anak- anak sekolah pun dilibatkan dalam kegiatan itu. Mereka membolos dari sekolah sampai berbulan-bulan dan menetap di hutan. Bagi warga yang tinggal cukup jauh dari kota kecamatan, tugas menjual gaharu diserahkan kepada suami.
Harga gaharu sangat bervariasi, Rp 300.000-Rp 10 juta/kg, tergantung jenis dan kualitas gaharu. Gaharu berkualitas sering disebut jenis super, berwarna hitam mengkilat. Harga gaharu jenis super di pedalaman Asmat sampai Rp 10 juta/kg, dan di luar negeri, seperti Singapura dan Hongkong, mencapai Rp 50 juta/kg. Karena itu, para pedagang gaharu tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan gaharu berkualitas.
Agar tidak rugi, para pedagang ini selalu memantau perkembangan harga gaharu di Singapura, Hongkong, Korea, China, dan Jepang dengan menggunakan telepon satelit.
Jika harga gaharu di luar negeri sedang membaik, berapa pun harga yang diminta para pemilik, pengumpul, dan masyarakat adat di pedalaman Asmat tetap dibayar pengusaha.
Karena itu, sering para pengumpul dan pemilik gaharu mengintip perkembangan harga gaharu di luar negeri melalui para pengusaha dan pedagang di daerah itu. Jika harga gaharu melonjak, mereka akan meminta harga gaharu berkualitas dengan harga lebih dari Rp 10 juta/kg.
BAGI kaum ibu dan anak-anak Asmat, berapa pun harga gaharu yang dijual suami atau ayahnya, mereka tidak pernah menikmati hasilnya meski gaharu itu hasil buruan semua anggota keluarga selama berbulan-bulan di hutan.
Uang hasil penjualan gaharu biasanya digunakan sang suami selama berhari-hari di kecamatan. Ia tidak pulang ke kampung atau ke rumah sebelum uang itu habis dari tangannya. Para suami pergi ke pusat hiburan, seperti bar, diskotek, karaoke, panti pijat, dan miras, yang disiapkan pengusaha/pedagang. Setelah uang di tangan habis, barulah suami-suami itu kembali ke kampung atau rumah kediaman dalam keadaan mabuk. Uang sepeser pun tidak ada di tangan, kecuali beberapa botol miras dan rokok di saku.
Pertengkaran pun tidak dapat dihindari. Istri dan anak-anak yang sudah berkorban di hutan memburu gaharu tidak menikmati sedikit pun hasil jerih payah tersebut.
Tetapi, dalam keadaan mabuk dan penuh emosional, suami itu berupaya membenarkan diri dengan berbagai cara.
Salah satu upaya pembelaan diri adalah melakukan tindak kekerasan terhadap istri dan anak. Banyak kaum ibu dan anak menjadi korban, tetapi tidak terdata.
Salah seorang Kepala Suku Atsy, John Mbulet, membenarkan adanya situasi menyedihkan itu. Kehidupan masyarakat Asmat terpencil di pedalaman dan tidak hidup berkomunitas. Mereka tinggal terpencar sehingga berbagai persoalan keluarga jarang dipantau atau diketahui tetangga (masyarakat) setempat.
Banyak kaum ibu mengadu kepada kepala suku setempat terkait dengan kelakuan sang suami. Bahkan, tidak sedikit kaum ibu lari meninggalkan sang suami karena tidak tahan atas perlakuan sang suami.
Tidak hanya tindak kekerasan, kasus perselingkuhan dengan PSK pun termasuk tinggi. Perselingkuhan terjadi ketika sang suami memiliki uang dalam jumlah besar, yaitu saat sang lelaki menjual gaharu kepada pengusaha/pedagang setempat. Biasanya para pedagang/pengusaha sengaja mendatangkan puluhan PSK yang selalu mengikuti kegiatan para pengusaha itu, termasuk dalam jual-beli gaharu.

Lokasi tempat tinggal pedagang gaharu umumnya sekaligus dijadikan tempat karaoke, diskotek, dan tempat praktik prostitusi. Semua kebutuhan, seperti miras, rokok, makanan, dan kebutuhan lain disiapkan di tempat itu.

BARTER kayu gaharu dengan jasa layanan PSK di pedalaman Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat terjadi mulai tahun 1998. Namun, awal 2003 kegiatan itu mulai menurun. PSK tidak lagi berburu kayu gaharu di hutan-hutan terpencil, tetapi berdiam di kota kecamatan. Namun, itu tidak mengurangi penjualan kayu gaharu yang ditukar dengan jasa layanan para PSK. Puluhan ton kayu gaharu setiap pekan diangkut keluar dari Asmat dan Mappi ke berbagai negara.
Sejak November 2002, ada upaya dari pemerintah daerah setempat untuk memberantas kegiatan itu. Tim dari Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Merauke di bawah pimpinan Wakil Bupati Merauke dr Benyamin Simatupang dengan pesawat khusus turun ke Ecy dan Atsy, berusaha menghentikan sejumlah aktivitas yang terkait dengan praktik prostitusi di pedalaman Merauke.
Awal tahun 2003 Muspida Merauke masuk lagi ke Ecy dan Atsy. Mereka membongkar sejumlah bar dan diskotek di hutan yang juga menjadi tempat praktik prostitusi di daerah itu. Sejumlah pengusaha yang mendatangkan minuman keras diberi peringatan keras. Hotel di tengah hutan, yakni Hotel Jasritio, pun sempat ditutup ketika itu. Hotel ini sebagai tempat transaksi utama pertukaran gaharu dengan jasa PSK.
Tiga pekan kemudian, setelah Muspida kembali ke Merauke, praktik tersebut muncul kembali. Aparat setempat tidak dapat bekerja melanjutkan program dari Muspida Merauke. Bahkan, mereka sendiri pun diduga terlibat dalam kegiatan itu. Mereka justru mendukung para pengusaha gaharu dan tempat hiburan untuk mengaktifkan kembali praktik barter gaharu dengan jasa PSK dan membuka pusat hiburan maksiat di daerah itu.
Kini Atsy dan Ecy telah dipisah menjadi dua kabupaten sejak April 2003. Kedua wilayah ini sebelumnya termasuk dalam kabupaten induk Merauke, dan masuk dalam satu suku besar Asmat. Sesuai suku dan karakter masyarakat, bagian utara Kabupaten Mappi termasuk dalam suku besar Asmat, seperti Asgon (Ecy), Senggo, dan Citak Mitak.
Praktik barter kayu gaharu dengan jasa PSK di Kabupaten Asmat terutama berlangsung di Distrik Atsy dan di Kabupaten Mappi, terutama Distrik Assue dengan ibu kota Ecy atau sering disebut Asgon. Kedua wilayah ini sangat terkenal sebagai sumber gaharu berkualitas. Kualitas gaharu di daerah ini sangat diminati para pedagang dan pengumpul gaharu dari Singapura, Taiwan, Jepang, dan Hongkong dibanding gaharu di daerah lain.
Sekitar 400 pengusaha gaharu menyebar di wilayah ini. Mereka tidak hanya bermodalkan uang, tetapi juga perempuan PSK yang didatangkan dari Merauke, Timika, dan Surabaya, yang sebagian besar telah berusia di atas 30 tahun dan tidak mendapat pelanggan di Merauke atau di Timika.
Menurut Pratono, di Ecy/Asgon terdapat 35 PSK asal Indramayu, Brebes, Lamongan, dan Blitar. Adapun di Distrik Atsy sebanyak 54 PSK dan di Kampung Waganu sebanyak 250 PSK.
Mereka datang bersama para pengusaha atau germo, tetapi sebagian lagi datang sendiri atas ajakan teman atau aparat keamanan. Pengusaha atau germo awalnya menjanjikan pekerjaan kepada para PSK itu sebagai pelayan toko, pengumpul gaharu, dan pekerja hotel dengan gaji di atas Rp 1 juta per bulan, tetapi ternyata mereka tetap dijadikan pekerja seks setiba di sana.
Tragisnya lagi, sekitar lima perempuan PSK di sana berusia 12 tahun, yang juga tiba di sana karena menjadi korban penipuan. Ironisnya, aparat setempat tidak melakukan apa pun terhadap perbuatan perdagangan manusia itu. (KORNELIS KEWA AMA)
sumber: Harian Kompas 29 Maret 2004
Penanaman Pohon Gaharu
GAHARU merupakan gumpalan berbentuk padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam, berbau harum jika dibakar. GAHARU terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis pohon penghasil GAHARU yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Beberapa jenis pohon penghasil GAHARU antara lain adalah Aquilaria spp., Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonystylus.Pemanfaatan GAHARU di Indonesia oleh Masyarakat Pedalaman Sumatera dan Kalimantan, telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional GAHARU dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini pemanfaatan GAHARU telah berkembang sangat luas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan.Akibat dari pola pemanenan yang berlebihan dan perdagangan GAHARU yang masih mengandalkan pada alam, maka jenis-jenis tertentu (seperti Aquilaria dan Gyrinops) saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES).Guna menghindari pohon penghasil GAHARU tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu upaya konservasi, baik in-situ (di dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya, serta rekayasa untuk mempercepat produksi GAHARU dengan teknologi induksi (inokulasi). Oleh karena itu, pengembangan budidaya GAHARU ke depan, selain untuk konservasi, juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pemerintah daerah, dan devisa bagi negara.Informasi yang bersifat “RAHASIA”, yaitu Perhitungan Kasar/Konservatif terhadap Usaha Ekonomi Budidaya Gaharu pada luasan 1 hektar dengan 1000 Pohon Gaharu selama 10 tahun, hanya memerlukan biaya sebesar Rp. 80 Juta, tetapi dapat menghasilkan penghasilan Rp. 2,8 Milyar. Luar Biasa Khan. Apalagi juga dapat menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia, dengan mencegah punahnya Pohon-pohon penghasil Gaharu.Kegiatan Penanaman Pohon GAHARU sebagai Batas Kawasan TWA Gunung Baung ini bertujuan untuk membangun kembali atau mempertegas kembali batas kawasan konservasi di lapangan, sehingga batas kawasan TWA Gunung Baung dapat diketahui secara pasti dan dapat dilihat dari jauh.Selain bertujuan sebagai batas kawasan, Penanaman Pohon Gaharu ini juga ditujukan sebagai Percontohan Budidaya GAHARU (Alternatif Usaha Ekonomi Kehutanan Produktif ber Pasar Eksport) dengan Teknologi BIO INDUKSI.Budidaya GAHARU di TWA Gunung Baung ini merupakan Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Sekitar TWA Gunung Baung yang berpola Bapak Angkat. Bapak Angkat membantu Modal, Manajemen, Teknologi dan Pasar. Selain itu, Penanaman Pohon GAHARU ini akan dikemas dalam kegiatan penanaman oleh Para Wisatawan/Pengunjung/Siswa Sekolah. Pohon yang ditanam tersebut akan berpapan nama PENANAM-nya, dan setiap 6 bulan Para Penanam-nya akan memperoleh informasi dan foto perkembangan pohon-nya (ADOPT TREE) melalui Email.Demikian juga setelah Pohon Gaharu berumur 5-6 tahun atau berdiameter 10-15 cm, Para Wisatawan/Pengunjung/Siswa Sekolah dapat melakukan INDUKSI JAMUR Penghasil Gaharu, yang perkembangan hasilnya juga akan diinformasikan kepada Pelaku Induksi-nya melalui Email. (DIKUTIP DARI: BAUNG CAMP)
Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit
JAKARTA – Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria. Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini sebagai obat. Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker. Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia. Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu. Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg)

DIKUTIP DARI : Copyright © Sinar Harapan 2003

Kamis, 14 Agustus 2008

Habitat Alam


Bibit Gaharu


Profil Pengusaha


Melawi

Prop. Kalimantan Barat memiliki hutan hujan tropis yang cukup besar, tanaman gaharu merupakan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, namun tidak dilakukan secara profesional. Kenyataannya, kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap petani pengusaha gaharu di daerah ini. Kabupaten Melawi memiliki potensi cukup besar untuk dilakukannya budidaya gaharu, salah seorang budidaya gaharu di Kabupaten ini bernama Hairul menyatakan "bahwa gaharu di habitat Kabupaten Melawi memiliki kesesuaian lingkungan dan menghasilkan jenis gaharu yang bermutu tinggi (kualitas super), oleh karenanya perlu adanya kerjasama dan dukungan pemerintah daerah maupun pihak investor untuk dapat bergandengan tangan membangun daerah ini melalui budidaya gaharu".
Selasa, 18 Maret 2008


Tingkatkan Penghasilan dengan Penggunaan Teknologi Percepatan Pembentukan Gubal Gaharu


Pontianak,-
Hutan memiliki berbagai sumber daya tumbuh-tumbuhan. Namun, seiring berjalannya zaman dan ramainya pembalakan liar, kelestarian hutan pun terpinggirkan. Berbagai tanaman pun mulai langka karena tidak optimalnya kegiatan peremajaan. Tanaman Gaharu tak luput dari pembalakan liar, membuat gubal gaharu pun menjadi barang langka, sehingga diperlukan langkah-langkah pelestarian diantaranya dengan penggunaan teknologi. Teknologi apa saja yang bisa digunakan untuk mempercepat Gubal Gaharu pada pohon penghasil Gaharu? Disadur : Chairunnisya SEBAGIAN masyarakat Kalimantan Barat menggantungkan hidupnya dari segala potensi yang ada di dalam hutan, diantaranya tanaman Gaharu. Gubal Gaharu merupakan salah satu hasil hutan ikutan yang sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama mereka yang hidup di sekitar hutan. Di hutan, terdapat berbagai jenis pohon hutan yang menghasilkan gubal gaharu, dan sebagian besar sudah dibalak untuk dimanfaatkan kayunya. Jenis-jenis pohon tersebut diantaranya berasal dari famili Thymelaeceae seperti Aquailaria spp, Wikstroemia spp, Gonystylus spp, Girinops spp, Aetoxylon sp dan Enkleia sp. Sekarang ini, gubal gaharu hanya dihasilkan dari jenis pohon tertentu seperti Aquilaria spp dan Gyrinops spp saja. Sedangkan dari jenis lainnya belum banyak diketahui potensi gaharunya. Gubal gaharu ini dikenal karena mengandung aroma wangi dan digunakan sebagai bahan baku obat-obatan. Pemanfaatan gaharu dari tahun ke tahun terus meningkat. Pemanfaatannya yang sangat luas membuat harga gaharu terus meningkat dari waktu ke waktu. Sekitar 6 tahun lalu, harga gubal gaharu kelas super sekitar Rp. 1 juta sampai Rp. 1,5 juta per kilogram. Harga ini jauh lebih meningkat sekarang ini, harga gubal gaharu sudah mencapai Rp 5 juta per kilogram. Dalam setiap pohon yang mencapai umur delapan sampai 10 tahun bisa menghasilkan tiga sampai lima kilogram gubal gaharu, sehingga dalam satu pohon saja, masyarakat bisa berpenghasilan antara 15 juta sampai 25 juta. Kendati pemanfataan gaharu berlangsung cepat, namun proses pembentukan gaharu masih lambat sehingga diperlukan teknologi yang dapat mempercepat terbentuknya gaharu. Maka itu, peneliti DR. Ir Abdurrani Muin, MS melakukan penelitian berjudul Teknologi Percepatan Pembentukan Gubal Gaharu Pada Pohon Penghasil Gaharu. Penelitian yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Daerah Ketapang dengan Lembaga Penelitian Universitas Tanjungpura ini dilakukan di Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang. Percepat Terbentuk Gubal dengan Inokulan Salah satu teknologi yang digunakan untuk mempercepat terbentuknya gubal gaharu adalah dengan inokulasi cendawan pembentuk gaharu. Peneliti, Dr Ir H Abdurrani Muin menjelaskan inokulasi merupakan cara menularkan suatu jasad renik (mikroba) kepada individu lainnya. Cendawan pembentuk gaharu berupa jasad renik atau mikroba yang akan merubah ekstraktif dalam bagian berkayu pohon-pohon, yang dapat menghasilkan gaharu menjadi ekstraktif yang beraroma gaharu. �Tujuan dari inokulasi ini yaitu agar proses pembentukan gaharu pada pohon gaharu menjadi lebih cepat. Inokulasi dilakukan dengan memasukan inokulan yang telah dikembangbiakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Untan ke dalam batang pohon gaharu,� jelas Abdurrani. Inokulan yang digunakan berasal dari genus Fusarium sp. Genus ini sudah banyak dikenal sebagai cendawan yang dapat membentuk gubal gaharu kualitas tinggi. Abdurrani menjelaskan tahapan dimulai dengan melakukan pengeboran menggunakan bor listrik dan dibantu dengan generator sebagai penggerak bor. Kedalaman lubang bor bervariasi tergantung diameter atau keliling pohon yang akan dibor. Semakin besar pohon yang dijadikan sampel dalam inokulasi, maka lubang pengeboran akan semakin dalam. Lubang bor yang dibuat dalam penelitian ini berkisar antara 5 cm sampai 15 cm.

Budidaya Gaharu

Jum'at, 04 Maret 2005 06:17 WIB
Provinsi Bengkulu Budidayakan Tanaman Kayu Gaharu

(ivan / MI)
JAKARTA - MI: -->
BENGKULU—MIOL: Pemprov Bengkulu sejak tahun lalu mulai mensosialisasikan usaha budidaya kayu gaharu (aquilaria malacensis), untuk dijadikan andalan pendapatan non kayu di masa mendatang.
Kayu gaharu merupakan satu hasil hutan non kayu mengandung damar wangi (aromatic resin) dan bisa dijadikan sebagai komoditi elit bernilai ekonomi tinggi, kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Ir Soegito, Kamis.
Menurut dia, usaha budidaya dan pengembangan kayu gaharu dapat dilakukan dengan berbagai pola, terutama dengan mengoptimalkan ruang tumbuh hutan dan lahan, khususnya pada wilayah yang sangat potensial bagi perkembangan jenis kayu tersebut.
Ia menyatakan budidaya gaharu bisa berhasil secara berkelanjutan jika disertai dengan upaya pemberdayaan kelompok tani, kemitraan dan peningkatan daya saing yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Karas/gaharu yang bernilai ekonomis tinggi itu sedikitnya terdapat pada sedikitnya 16 jenis kayu, di antaranya aqualaria hirta, aqualaria beccariana dan gyrinops Spp yang banyak tumbuh di 18 provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Inventarisasi Litbang Depertemen Kehutanan, katanya, jenis kayu gaharu tumbuh secara alami di Indonesia dengan luas seluruhnya sekitar 4,8 juta Ha, terdapat di 18 provinsi, di antaranya kawasan hutan Sumatera Utara, Riau, Sumbar, Jambi dan Bengkulu.
Selain itu, tanaman itu juga tumbuh subur di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, irian Jaya dan Papua.
Usaha budidaya kayu garahu sekaligus mencegah kepunahan karena pengambilan jenis kayu tersebut sudah berjalan sejak lama oleh masyarakat.
Getah kayu gaharu yang lebih dikenal dengan karas itu, harga jual pada tingkat pedagang pengumpul mencapai Rp15 juta/Kg. Karas dapat digunakan selain untuk obat-obatan juga parfum dan kosmetik.
Untuk industri farfum, gaharu digunakan sebagai komponen minyak wangi dan pengharum ruangan, sedangkan di sektor pengobatan dapat menyembuhkan penyakit kuning, ginjal dan obat penenang.
Pohon gaharu yang mempunyai karakteristik yang rimbun dan berakar dalam, juga mempunyai fungsi ekologis dari aspek konservasi tanah dan air.
Drs Yana Sumarna dari Litbang Hutan Konservasi Alam Departemen Kehutanan belum lama ini mengatakan, pengembangan budidaya gaharu sebaiknya dilaksanakan melalui penanaman secara swadaya oleh masyarakat dan dimasukan dalam program pemerintah.
Departemen Kehutanan, katanya, sudah melakukan penanaman gaharu bekerjasama dengan Universitas Mataram seluas 132 Ha di Desa Senaru Kabupaten Lombok Barat sejak tahun 1999.
Pohon gaharu rencananya akan dijadikan tanaman unggulan spesifik dalam proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), pada tahap awal akan dibuat daerah percontohan di enam provinsi, yakni Jambi, Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.
Pada tahun 2004 baru diadakan di dua provinsi, yakni Kalimantan Selatan dan Jambi, selebihnya dilakukan pada tahun berikutnya.
Tujuan ekspor gaharu Indonesia diutamakan ke Eropa, Arab dan Cina. Tahun 2003 produksi gaharu jenis aquilaria malacensis sebanyak 50 ton/tahun dan jenis A.filaria 125 ton/tahun dengan harga rata-rata Rp10 juta/Kg. (Ant/O-2)

Perintis Lingkungan

Perintis Lingkungan:
THERESIA MIA TOBI
Rt. 13/RW 06, Dusun Bawalatang, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Gaharu, potong satu tanam seribu
Seperempat abad yang lalu, gaharu (Aquilaria spp) banyak dijumpai dan tumbuh nyaris tanpa gangguan di hutan Indonesia. Gubal atau getah gaharu mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai bahan baku berbagai jenis wewangian seperti dupa atau hio, parfum, dan obat tradisional. Inilah yang kemudian mendorong perburuan gaharu secara besar-besaran sejak tahun 1970-an untuk diekspor ke luar negeri.

Di saat itu, terjadi pula penebangan sia-sia, artinya banyak pohon gaharu yang tidak mengandung gubal ditebang dan mati. Akibatnya, 10-15 tahun kemudian tanaman gaharu di Indonesia semakin langka dan terancam punah, keadaan ini diperparah dengan belum dikenalnya teknik budi daya gaharu oleh masyarakat.

Di dusun Bawalatang, desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, kabupaten Flores Timur yang lahannya bergelombang, berbukit dan di sana-sini terjal, seorang ibu rumah tangga, Theresia Mia Tobi mempunyai perhatian besar dan meluangkan waktunya untuk melakukan budi daya gaharu. Usahanya dilakukan sejak tahun 1993 mulai dari pembibitan dan penangkaran, penanaman dan perawatan. Ibu Theresia melakukan ini dengan hati yang ikhlas dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk selalu wajib menyintai lingkungan.

Dengan dukungan keluarga, orang tua dan dibantu anggota kelompok dani serta aparat desa, Ibu Theresia tanpa kenal lelah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat melalui penanaman pohon dengan semboyan ”bila satu pohon ditebang, akan diganti dengan penanaman seribu pohon”. Kepercayaan masyarakat kepada Ibu Theresia dapat diukur dari keikutsertaan seluruh warga Desa Nawakote kemudian melakukan pembitan, penangkaran dan penanaman gaharu di pekarangan rumah maupun areal hutan.

Karena ternyata mendatangkan nilai ekonomis yang cukup banyak, Ibu Theresia Mia Tobi kemudian membagikan tidak kurang dari 11.000 bibit gaharu kepada masyarakat Desa Nawakota, Yayasan Tana Abab, Kelompok Tani Nelayan Watebula Sumba Barat, Yayasan Yaspensel Diosis Larantuka, Kelompok Tani Taw Tana, Uskup Weetebula, Mantan Bupati Flores Timur, Drs. Hendrikus Henkin, dan Kelompok Tani Gaharu di Kemaebang Desa Nawakota.
Dengan segala keterbatasannya, Ibu Theresia juga menanam berbagai tanaman kayu-kayuan seperti mahoni, ampupu, gamalina, selain tanaman perkebunan seperti ciklat, vanili, kemiri, kelapa, pisang, dan lain-lain.

Penanaman berbagai komoditas mencakup 3 hektar di areal sekitar permukiman, dan penghijauan telah menjadikan asri dan sejuk 30 hektar lahan kritis di Desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, Kabupaten Flores Timur.

Karena prestasi dan popularitasnya, Ibu Theresia Mia Tobi sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber pada berbagai pertemuan dan sosialisasi yang berkaitan dengan gaharu. Tidak hanya di tingkat desa, permintaan itu juga datang dari Kecamatan, Kabupaten Flores Timur, Dinas Kehutanan, Bappeda dan berbagai kelompok tani di Kabupaten Flores Timur.

JUAL BIBIT GAHARU

Jual Bibit Gaharu
Bagi yang membutuhkan bibit gaharu dari jenis Aquilaria malaccensis Lamk, tinggi 25 cm up (siap tanam), jumlah banyak. (MOHON MAAF, POSTING INI LAGI DALAM PROSES)(habib_aisyah@yahoo.co.id)

Kamis, 10 Juli 2008

Pengusaha Muda



Potensi Sumber Daya Alam di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat merupakan kekayaan alam yang sangat luar biasa. Terbukti dilakukannya pencegahan dan pemberantasan illegal logging dengan kerugian negara hampir atau dikatakan dapat membiayai APBN untuk satu tahun anggaran. Namun, disisi lain eksploitasi terhadap sumber daya alam terbaharukan sangat lamban dilakukan. Keadaan ini cukup memprihatinkan disaat negara dalam keadaan krisis, justru memberikan peluang kepada investor dalam negeri mencari usaha ke luar, bukannya memperhatikan usaha kecil dan menengah untuk dibina dan diberdayakan.

Minggu, 09 Maret 2008


Tanaman Gaharu


Menanam pohon jati, pilih bibit jati yang berlabel atau yang di semai ( bibit dari IPB).Karena Bibit jati mas munkin namanya jati mas dari pedagang bibit tanpa garansi, kami menanam dengan beberapa jenis jati. jati super, jati mas dari kultur jaringan.


Dalam hal tanah beserta kandungan mineral atau stuktur tanah, pohon jati cocok atau bisa tumbuh sempurnah dilahan berpasir 20- 40% dan 30% tanah liat 30 % domato (Tanah kapur)pasir tidak boleh lebih 5% kandungan Fe dan di bawah 5-7 meter kedalaman tanah mengandung air dan kemiringan struktur tanah,Tanah datar pertumbuhannya kurang memuasakan, ketinggian tanah 100 - 400m DPL, dengan curah hujan sedang.


Ada beberapa contoh perkembangan yang sudah ditanam(dari 30 ribu pohon lebih jati)memang tidak semua pertumbuhannya sempurnah, dan itu pun bukan jati mas melainkan jati super. selama 3thn 40 % berdiameter 15-17 cm, dan sisanya berfareasi antara 10-12 Cm, memang hal fariasi pertumbuhan jati tersebut demikian agar hasil panen dilaksanakan dengan tebang pilih bukan sekali gus ditebang dan memakan waktu 7 tahun sampai 15 Thn dari waktu tanam karena di tanam dengan jarak 2-4 m.Catatan: dalam jangka waktu 4-5thn masa tanam, pohon akan melalui masa kritis selama 1 thn dan jangan di beri pupuk berlebihan apalagi pupuk NPK atau Kcl.


Kcl sama sekali tidak boleh di berikan pada tanaman jati, pada masa kritis. sebaiknya Pupuk TSP atau pupuk kandang yang cocok atau sama sekali jangan di beri pupuk karena didaerah Minahasa tanah umumnya masih subur.Untuk Tanaman Gaharu, ketingian tanah adalah 50- 400m DPL, stuktur tanah liat, pasir, ratio berkisar 60 Liat/30 pasir, curah hujan sedang dan penanaman pohon mudah harus ditempat teduh 10% kena sinar matahari sampai 3 tahun umur tanaman.


Dan memang tanaman ini masih di uji coba di Minahasa, di Sulut sendiri tepatnya di daerah Bolaaang dan Bintauana (sepanjang sungai Ilanga) ada banyak pohon gaharu, karena ketidak tahuan masyarakat maka pohon tsb sudah lama ditebang dan tidak ada sisa satu pun.

Selasa, 04 Maret 2008

Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu secara In Vitro


(Mia Kosmiatin, Ali Husni, dan Ika Mariska)


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian


Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111



ABSTRACT
In Vitro Germination and Micropropagation of Agarwood. Mia Kosmiatin, A. Husni, and I. Mariska. Agarwood (Aquilaria malaccensis Lank) is one of the forest wood that are continously exploited. Currently, the Indonesian export of agarwood is decreasing because its population is endangered by excessive logging. Agarwood propagations need technology for reproduction of agarwood seedlings and their fungal inoculum. In vitro technique for germination of recalsitrant seeds and micropropagation are technologies that can be used for propagation of agarwood seedlings. An experiment was done to develop techniques for in vitro germination and micropropagation of agarwood. The in vitro germination was done using two different techniques. Firstly, sterile seeds were germinated on an MS medium + 50 mg/l PVP, 50 mg/l GA, and 1 mg/l BA or kinetin. Secondly, sterile seeds were germinated on basal medium of MS, ½ MS medium, MS medium without vitamins, as well as on MS medium without pyridoxine, nicotinic acid and WPM. Shoot initiations and multiplications were done on MS and ½ MS media containing 1, 3, or 5 mg/l BA. The explants used were cotyledone nodes, terminal shoots, single node with leaf, and sinle node without leaf. The results showed that the seed germination rate on the different media ranged from 7,14 to 50%. The seed germination rate on the MS medium without vitamis was the highest. The best explants for shoot induction and multiplication was single node with leaf which was cultured on MS + 1 mg/l BA.Keywords: Aquilaria malaccensis Lank, in vitro germination, micropropagation.



Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu, agarwood, aloeswood, dan oudh. Selain untuk keperluan agama, gaharu juga dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun sari aroma gaharu, pengobatan, dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al. 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez 1998). Dengan nilai komersial yang demikian tinggi volume perdagangan gaharu semakin meningkat. Permintaan internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah (Shyun 1997; Ng et al. 1997).




Menurut Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode 1990-1998 sebanyak 165 t dengan nilai US$ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 t dengan nilai US$ 2.200.000 pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30 t dengan nilai US$ 600.000 karena gaharu sulit didapat. Selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi 1997; Peters 1996) sehingga populasi tanaman ini di Indonesia hampir punah (Oldfield et al. 1998). Sejak tahun 1994 CITES menetapkan tanaman penghasil gaharu jenis A. malaccacensis termasuk APENDIX II, yaitu jenis tanaman yang terancam punah.




Kepunahan tanaman gaharu selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya teknologi budi daya yang efisien. Teknologi ini sulit dikembangkan karena ketersediaan bibit yang terbatas. Selain itu, diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik (Isnaini dan Situmorang 2005).Bibit gaharu diperbanyak secara konvensional baik secara generatif maupun vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu yang cukup lama dengan tingkat keberhasilan yang relatif masih rendah.




Teknik in vitro telah banyak dimanfaatkan dan memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian selain dimanfaatkan untuk perbanyakan juga konservasi dan perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik in vitro terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu di Vietnam (Minh 2004).Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis somatik.




Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) faktor perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu, teknologi ini juga lebih menjamin keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang lebih murah.Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas, organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan eksplan, jenis media dasar, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monnier 1990; Liz dan Levicth 1997).




Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan proliferasi tunas dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya supaya eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales 1994). Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup tinggi sehingga sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa yang dapat mengantisipasi aktivitas ini menjadi sangat diperlukan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode perkecambahan in vitro biji gaharu dan formulasi media serta eksplan yang sesuai untuk induksi dan multiplikasi tunas.

TEKNOLOGI PERCEPATAN PEMBENTUKAN BUDIDAYA GUBAL GAHARU
Anonim menulis: "


Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) Kabupaten Ketapang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Tanjung Pura telah mengadakan Opservasi dan Presentasi pada tanggal, 7 Desember 2006 dan telah dihadiri oleh beberapa Dinas Instansi terkait.


Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ketapang FARHAN, SE,Msi. Dalam kata sambutannya secara singkat mengatakan bahwa masih adanya sebagian masyarakat di Pedesaan belum memahami cara mengambil Gubal Gaharu, yang sudah bisa diambil / panen. Selanjutnya dikatakan dengan adanya kegiatan Penelitian ini, karena sudah banyak kejadian bahwa sudah banyak jumlah pohon yang ditebang namun tidak terdapat gaharu, karena itu Kepala BAPPEDA mengharapkan Lembaga Penelitian dari Universitas Tanjung Pura agar kegiatan ini bisa bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan untuk mengadakan Penelitian secara terpadu.


Adapun tenaga Penelitian, selaku Ketua Penanggung Jawab, DR,Ir.Abdurrani Muin MS. Mengatakan “kegiatan ini sudah diuji coba di Kabupaten Kapuas Hulu, namun karena di Ketapang terdapat Gubal Gaharu yang asal alami dan asal tebang. Untuk mendapatkan Gubal Gaharu akan diadakan melalui Suntikan Gaharu yang terbuat dari Cendawan yang dikembang biakan.


Di Ketapang Gaharu bisa tumbuh diantara Pohon-pohon lainnya seperti : Karet dan tumbuh-tumbuhan, karena pembuatannya sangat mudah dan umur kayu mencapai 5 (lima) Tahun sudah bisa ditebang / panen, dan hasil kayu gaharu ini di Exspor ke Singapura dengan harga yang cukup tinggi. Untuk itu dihimbau pada Masyarakat agar mulai saat ini agar segera menanam Kayu Gaharu di kebun-kebun atau perkarangan karena hasilnya sangat menjanjikan dengan pendapatan yang cukup besar bagi petani dan bisa meningkatkan PAD setempat.


Di Kabupaten Ketapang telah diuji coba di Desa Segagap Kacamatan Nanga Tayap dan sudah mencapai umur 6 (enam) Bulan, di harapkan di Daerah lain agar bisa mengikuti, sehingga beberapa tahun kedepan Ketapang bisa menjadi Daerah Pengexspor Gaharu terbesar ke Singapura. ( T a m r i n ). "

Sabtu, 20 September 2003

Harga Gaharu Capai Rp 21 Juta/Kg


Putussibau,- Masyarakat Bumi Uncak Kapuas mulai mengembangkan budidaya pohon gaharu. Kayu ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi, perkilo gaharu jenis super "A' harganya mencapai Rp 21 juta. Bahkan saat ini, bibit pohon gaharu juga mulai dijual bebas dan sudah banyak masyarakat yang membudidayakannnya. "Untuk lebih mengembangkan pohon gaharu ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kapuas Hulu akan melakukan penyemaian bibit pohon gaharu," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kapuas Hulu, Ir Sirajul Alam kepada Pontianak Post belum lama ini.

Lebih lanjut Sirajul menambahkan, kayu gaharu ini akan menghasilkan gaharu jika pertumbuhannya tidak terganggu. Kayu ini juga bisa hidup disembarang tempat. Sehingga untuk membudidayakan pohon ini sangat mudah, demikian juga dengan pemeliharaannya.


Dikatakannya lagi, menurut mitos pohon gaharu mengandung unsur mistis. Karena pada saat mencari pohon tersebut tidak semua orang bisa menemukan gaharu yang memiliki kualitas baik. Sehingga untuk mendapatkan gaharu sangat tergantung dengan "heng" (keberuntungan) masing-masing orang. Sedangkan yang paling mengerti mencari gaharu, adalah masyarakat Kapuas Hulu sendiri, terutama yang sudah terbiasa mencari gaharu di hutan-hutan. Melihat peluang usaha baru inilah Dishutbun Kapuas Hulu akan melakukan pembibitan dalam skala besar.


"Sekarang pohon gaharu yang sudah ditanam oleh masyarakat Kapuas Hulu telah mencapai ribuan batang. Budi daya tanaman ini sangat menjanjikan, bayangkan jika pohon gaharu yang ditanam bisa menghasilkan gaharu super (kelas A) harganya sekarang Rp 21 juta. "Satu pohon gaharu bisa menghasilkan puluhan kilo gharu," jelas Sirajul. Selama ini gaharu yang didapat masyarakat di hutan dijual ke Jakarta, Arab Saudi dan beberapa negara lainnya.


Dikatakannya, gaharu memiliki nilai jual yang cukup tinggi, karena bisa digunakan sebagai bahan obat-obatan dan wangi-wangian yang tidak mengandung alkohol. "Melihat peluang usaha inilah kita (Dishutbun, Red) mencoba membudidayakan bibit pohon gaharu dengan cara penyemaian," jelasnya.(aan)


BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN GAHARU


Latar Belakang Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa species gaharu komersial dari marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filaria dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka.


Sehingga pada tahun 1995 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar appendix II. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun. Namun sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok.


Karena kekhawatiran akan punahnya species gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun.Untuk memenuhi permintaan ekspor, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi gaharu secara lestari. Hal ini dapat dicapai melalui upaya konservasi, pembangunan hutan industri gaharu yang didukung dengan tersedianya bibit unggul, serta teknologi bioproses gaharu yang efektif.


Selain untuk mempertahankan kelestarian gaharu, konservasi plasma nuftah gaharu baik secara in situ maupun ex situ juga akan memberikan peluang dihasilkannya bibit unggul. Penemuan bibit unggul yang memiliki sifat potensial dalam menghasilkan gaharu dapat dilakukan melalui metode seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) maupun in vitro (di laboratorium).

Menyikapi hal-hal tersebut diatas, SEAMEO BIOTROP mengambil langkah dengan menyelenggarakan pelatihan bagi peminat gaharu, baik pengembang, peneliti ataupun pengusaha.

Tujuan Pelatihan
1. Memperkenalkan dan mendiskusikan beberapa metode yang terkait dengan budidaya gaharu
2. Alih teknologi tentang strategi peningkatan produksi gaharu secara lestari.


Pada akhir pelatihan ini diharapkan para peserta memiliki pengetahuan dasar untuk pengembangan gaharu di daerah masing-masing, sehingga upaya meningkatkan produksi gaharu secara lestari dapat dicapai di masa datang.

Materi Pelatihan
Pelatihan ini terdiri dari 30% teori dan 70% praktek, baik di laboratorium maupun di lapangan.
Melalui pelatihan ini, aplikasi perbanyakan tanaman gaharu untuk menghasilkan bibit unggul akan dilakukan secara vegetatif (klonal) baik melalui cangkok, setek, maupun kultur jaringan. Selanjutnya penyediaan bibit unggul dapat diupayakan melalui pembangunan bank klonal secara in vitro dan kebun benih klonal (Clonal Seed Orchards).


Alih teknologi bioproses gaharu yaitu induksi pembentukan gaharu pada pohon dengan menggunakan inokulum cendawan yang telah teruji kemampuannya baik secara in vitro maupun in planta, juga akan disampaikan pada pelatihan ini, selain teknologi penyulingan minyak gaharu untuk meningkatkan nilai jual produk tersebut.


Selain itu, Laboratorium Bioteknologi tanaman SEAMEO BIOTROP sejak tahun 1995 telah meneliti dan memiliki pengalaman dalam bidang konservasi, seleksi pohon unggul, perbanyakan bibit melalui teknik kultur jaringan dan setek, serta bioproses gaharu. Dengan penguasaan metode pemuliaan pohon gaharu ini serta pertukaran informasi melalui diskusi antar peserta pelatihan, diharapkan menjadi titik awal menuju produksi gaharu secara lestari

Topik Pelatihan
Pengenalan beberapa species gaharu komersial asli Indonesia seperti: A. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, dan A. filaria serta A. crassna asal Camboja.

Seleksi pohon gaharu unggul.
Teknik perbanyakan bibit gaharu unggul secara vegetatif (kultur jaringan dan stek).
Silvikultur gaharu.
Teknik induksi pembentukan gaharu pada pohon.
Pemanenan dan Klasifikasi gaharu.
Penyulingan minyak gaharu
.

Sertifikat

Setiap peserta yang mengikuti pelatihan ini secara keseluruhan akan mendapatkan sertifikat pada akhir pelatihan.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelatihan ini akan dilaksanakan pada tanggal 28-30 Nopember 2005. di SEAMEO BIOTROP, Jl. Raya Tajur km 6 Bogor.

Syarat-syarat Peserta Pelatihan
Petani, Konservator, Dosen, Peneliti, Pengusaha, dan masyarakat umum yang tertarik dengan komoditi gaharu.

Biaya Pendaftaran
Pendaftaran peserta pelatihan paling lambat diterima pada tanggal 18 Nopember 2005, dengan membayar biaya pelatihan sebesar Rp. 3.500.000.- (tiga juta lima ratus ribu rupiah). Biaya tersebut mencakup Akomodasi, Konsumsi, Training Kit, Fieldtrip dan Seminar Nasional Gaharu (1- 2 Desember 2005)


Informasi lebih lengkap dapat diperoleh melalui sekretariat:
BIOTROP Training and Information Centre


Koordinator Pelatihan :
u.p. S. WidodoJl. Raya Tajur Km 6, PO Box 116, Bogor E-mail: btic@biotrop.org; widodo@biotrop.org Tel : 0251-320224Fax : 0251-320224/326851


Course Leader :

Jonner Situmorang MSi.E-mail: mailto:jonner.situmorang@biotrop.orgTel: 0251-323848; HP: 0812 80702168 Fax: 0251-326851
Yupi Isnaini MSi. E-mail: yupi@biotrop.org HP: 0812 8488173
Formulir Pendaftaran

Super Gaharu


The most demanding of the chips fibre in the world from tropical forest trees namely gaharu or agarwood, we offer and sale the seedling or bibit, gubal, kemedangan, teri, we provide the artificial or suntikan of planted trees (offering the collaboration), it is priceless or low price against the best quality, the gaharu oil is available.


Jenis kayu yang sangat dicari di pelosok penjuru dunia dengan nama gaharu, kami menyediakan bibit, gaharu chip, minyak gaharu, cendawan inokulan gaharu, alat kerja panen, investasi suntikan gaharu dengan harga yang sangat menantang.

Contoh Penawaran :


Gaharu hasil suntikan dengan kualitas yang baik setelah 1 tahun disuntik dengan harga jual USD 200/kg.

Inoculated Agarwood with the best quality after 1 year inoculation with the price USD 200/kg.

We offer the seedling with the best price Rp. 25.000/20-30 cm, Rp. 250.000/2 m; Rp. 500.000/3 m.


Kami menyediakan bibit gaharu dari berbagai jenis dengan harga yang sangat baik Rp 25.000/tinggi 20-30 cm; Rp. 250.000/tinggi 2 m; dan Rp. 500.000/tingi 3 m.
Silakan hubungi kami di :


Hairul Sani
081352407795, email : habib_aisyah@yahoo.co.id, Bank Muamalat Cabang Pontianak, no rek ..........................

Gaharu


Gaharu merupakan hasil dari jenis kayu tertentu yang terdapat dalam hutan. Dengan kata lain gaharu atau gubal gaharu (juga sering disebut sebagai (aloeswood, eaglewood, agarwood) merupakan substansi aromatik (aromatic resin) berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu. Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena, dimana substansi ini memiliki struktur kimia yang sangat spesifik sehingga sampai saat ini belum dapat dibuat secara sintesis

Adapun pohon penghasil gaharu ada 18 jenis berasal dari suku Tymelaeaceae , dan 3 jenis lainnya, yakni Excocaria agalocha L. dan Dalbergia parviflora Roxb. Berasal dari suku Euphorbiaceae dan Fabaceae, dan Aloexylon agallocum Loureuio, anggota suku Leguminoceae . Dari 15 jenis pohon gaharu dari suku Tymelaeaceae , terdiri dari 7 jenis dari marga Aquilaria, 3 jenis dari marga Wikstroemia, 2 jenis dari marga Gonytyllus dan 1 jenis masing-masing dari marga Gyrinops , Aetoxylon dan Enkleia.( Airy Show, 1948; Ding Hou, 1960. 1964; Yule Burnell,2000; Wiryadinata, 1995).

Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal sejak ratusan tahun silam. Gaharu dari Indonesia banyak dikirim ke Cina, Taiwan, Hongkong, Jepang, Saudi Arabia (Timur Tengah) dan beberapa negara Eropa. Nilai ekonomi gubal gaharu bervariasi tergantung kelasnya. Sabagai contoh untuk kualitas super Rp 4 juta sampai Rp 5 juta, dan kelas terendah C2 (kemedangan) Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu. Saat ini Indonesia adalah eksportir terbesar untuk gubal gaharu yang diperoleh dari pohon A. malacensis Lamk. Pada tahun 1993, Indonesia mengekspor gubal gaharu tersebut sebanyak 300 ton ke Hongkong, Jepang, Taiwan, Singapura, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Oman dan Yaman, dengan harga US $ 100 per kilogram untuk kualitas terendah, bahkan untuk kualitas super harganya dapat mencapai US $ 10.000 per kilogram terutama dinegara-negara Emirat Arab, Saudi Arabia dan Bahrain (WCMC, 2001; Susila, 2003.)

Gaharu ini digunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika,obat-obatan dan untuk keperluan ritual agama. Sebagai obat dan wewangian penggunaan gaharu masih berlangsung hingga kini.


Selama ini produksi gubal gaharu hanya mengandalkan gubal gaharu secara alami. Namun akibat kurangnya ketrampilan para pemburu dalam mengenali pohon yang sudah membentuk gubal gaharu, maka penebangan yang sia-sia banyak terjadi .

CV. Alam Tropika. IR. RAWANA,MP - Pusat:Keparakan Kidul MG 1/1265 Yogyakarta, Indonesia 55152. Telp 62-274-6515793 - HP 62-8122753622. Kantor Cabang: Jl Lowanu No. 23 Yogyakarta-Indonesia telp./fax. 62-274-377879. Area research: Dusun Sawo, desa Wirokeren,Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia

Senin, 03 Maret 2008


Gaharu ( Aquilaria)


Gaharu adalah kayu wangi yang sudah diresapi resin yang dijumpai pada pohon Aquilaria yang sangat berharga terutama karena wangi, dapat digunakan untuk pengasapan, dan untuk obat. Di Indonesia, persediaan pohon ini diperkirakan mencapai 1,87 pohon per ha di Sumatera, 3,37 pohon per hea di Kalimantan, dan 4,33 pohon per ha di Papua. Keberadaan pohon itu sendiri tidak menjamin keberadaan resin.

Para ilmuwan memperkirakan hanya 10% dari pohon Aquilaria di dalam hutan yang mengandung gaharu . Indonesia adalah eksportir utama produk gaharu di dunia. Dengan permintaan pasar yang tinggi, banyak kolektor yang tidak trampil tertarik untuk mengeksploitasi gaharu dan, akibatnya, sebagian besar populasi gaharu rusak terlepas bahwa kayu ini tercantum dalam CITES Appendix II.


Baru-baru ini, harga untuk gaharu dengan mutu terbaik dinyatakan sebesar kurang-lebih $400/kg dan sebagian besar bahan ini diselundupkan dan diperdagangkan secara ilegal keluar dari negara ini.


Pekerjaan kami saat ini terfokus pada pemantauan perdagangan gaharu dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memajukan panen yang tidak merusak lingkungan. Misalnya, kami bekerjasama dengan para pemegang kepentingan [stakeholder] setempat di Taman Nasional Kayan Mentarang (KMNP) untuk mempromosikan penangkaran dan penanaman spesies Aquilaria setempat dan inokulasi dengan jamur pusarium .


Prakarsa ini dilaksanakan di berbagai bagian dari zona penyanggap KMNP atas permintaan antusias dari masyarakat itu sendiri. Kami berharap hal ini akan menjadi alternatif yang tidak merusak lingkungan selain dari eksploitasi gaharu tradisional dan usaha berbasis pelestarian dapat didekati dengan hasil ekonomi tertentu. (Sumber: WWF)