(Mia Kosmiatin, Ali Husni, dan Ika Mariska)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRACT
In Vitro Germination and Micropropagation of Agarwood. Mia Kosmiatin, A. Husni, and I. Mariska. Agarwood (Aquilaria malaccensis Lank) is one of the forest wood that are continously exploited. Currently, the Indonesian export of agarwood is decreasing because its population is endangered by excessive logging. Agarwood propagations need technology for reproduction of agarwood seedlings and their fungal inoculum. In vitro technique for germination of recalsitrant seeds and micropropagation are technologies that can be used for propagation of agarwood seedlings. An experiment was done to develop techniques for in vitro germination and micropropagation of agarwood. The in vitro germination was done using two different techniques. Firstly, sterile seeds were germinated on an MS medium + 50 mg/l PVP, 50 mg/l GA, and 1 mg/l BA or kinetin. Secondly, sterile seeds were germinated on basal medium of MS, ½ MS medium, MS medium without vitamins, as well as on MS medium without pyridoxine, nicotinic acid and WPM. Shoot initiations and multiplications were done on MS and ½ MS media containing 1, 3, or 5 mg/l BA. The explants used were cotyledone nodes, terminal shoots, single node with leaf, and sinle node without leaf. The results showed that the seed germination rate on the different media ranged from 7,14 to 50%. The seed germination rate on the MS medium without vitamis was the highest. The best explants for shoot induction and multiplication was single node with leaf which was cultured on MS + 1 mg/l BA.Keywords: Aquilaria malaccensis Lank, in vitro germination, micropropagation.
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu, agarwood, aloeswood, dan oudh. Selain untuk keperluan agama, gaharu juga dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun sari aroma gaharu, pengobatan, dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al. 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez 1998). Dengan nilai komersial yang demikian tinggi volume perdagangan gaharu semakin meningkat. Permintaan internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah (Shyun 1997; Ng et al. 1997).
Menurut Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode 1990-1998 sebanyak 165 t dengan nilai US$ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 t dengan nilai US$ 2.200.000 pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30 t dengan nilai US$ 600.000 karena gaharu sulit didapat. Selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi 1997; Peters 1996) sehingga populasi tanaman ini di Indonesia hampir punah (Oldfield et al. 1998). Sejak tahun 1994 CITES menetapkan tanaman penghasil gaharu jenis A. malaccacensis termasuk APENDIX II, yaitu jenis tanaman yang terancam punah.
Kepunahan tanaman gaharu selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya teknologi budi daya yang efisien. Teknologi ini sulit dikembangkan karena ketersediaan bibit yang terbatas. Selain itu, diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik (Isnaini dan Situmorang 2005).Bibit gaharu diperbanyak secara konvensional baik secara generatif maupun vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu yang cukup lama dengan tingkat keberhasilan yang relatif masih rendah.
Teknik in vitro telah banyak dimanfaatkan dan memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian selain dimanfaatkan untuk perbanyakan juga konservasi dan perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik in vitro terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu di Vietnam (Minh 2004).Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis somatik.
Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) faktor perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu, teknologi ini juga lebih menjamin keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang lebih murah.Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas, organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan eksplan, jenis media dasar, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monnier 1990; Liz dan Levicth 1997).
Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan proliferasi tunas dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya supaya eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales 1994). Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup tinggi sehingga sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa yang dapat mengantisipasi aktivitas ini menjadi sangat diperlukan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode perkecambahan in vitro biji gaharu dan formulasi media serta eksplan yang sesuai untuk induksi dan multiplikasi tunas.
1 komentar:
wah banyak ilmu menarik nih!
salam kenal...
Posting Komentar