Kamis, 14 Agustus 2008
Profil Pengusaha
Melawi
Prop. Kalimantan Barat memiliki hutan hujan tropis yang cukup besar, tanaman gaharu merupakan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, namun tidak dilakukan secara profesional. Kenyataannya, kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap petani pengusaha gaharu di daerah ini. Kabupaten Melawi memiliki potensi cukup besar untuk dilakukannya budidaya gaharu, salah seorang budidaya gaharu di Kabupaten ini bernama Hairul menyatakan "bahwa gaharu di habitat Kabupaten Melawi memiliki kesesuaian lingkungan dan menghasilkan jenis gaharu yang bermutu tinggi (kualitas super), oleh karenanya perlu adanya kerjasama dan dukungan pemerintah daerah maupun pihak investor untuk dapat bergandengan tangan membangun daerah ini melalui budidaya gaharu".
Selasa, 18 Maret 2008
Tingkatkan Penghasilan dengan Penggunaan Teknologi Percepatan Pembentukan Gubal Gaharu
Pontianak,-
Hutan memiliki berbagai sumber daya tumbuh-tumbuhan. Namun, seiring berjalannya zaman dan ramainya pembalakan liar, kelestarian hutan pun terpinggirkan. Berbagai tanaman pun mulai langka karena tidak optimalnya kegiatan peremajaan. Tanaman Gaharu tak luput dari pembalakan liar, membuat gubal gaharu pun menjadi barang langka, sehingga diperlukan langkah-langkah pelestarian diantaranya dengan penggunaan teknologi. Teknologi apa saja yang bisa digunakan untuk mempercepat Gubal Gaharu pada pohon penghasil Gaharu? Disadur : Chairunnisya SEBAGIAN masyarakat Kalimantan Barat menggantungkan hidupnya dari segala potensi yang ada di dalam hutan, diantaranya tanaman Gaharu. Gubal Gaharu merupakan salah satu hasil hutan ikutan yang sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama mereka yang hidup di sekitar hutan. Di hutan, terdapat berbagai jenis pohon hutan yang menghasilkan gubal gaharu, dan sebagian besar sudah dibalak untuk dimanfaatkan kayunya. Jenis-jenis pohon tersebut diantaranya berasal dari famili Thymelaeceae seperti Aquailaria spp, Wikstroemia spp, Gonystylus spp, Girinops spp, Aetoxylon sp dan Enkleia sp. Sekarang ini, gubal gaharu hanya dihasilkan dari jenis pohon tertentu seperti Aquilaria spp dan Gyrinops spp saja. Sedangkan dari jenis lainnya belum banyak diketahui potensi gaharunya. Gubal gaharu ini dikenal karena mengandung aroma wangi dan digunakan sebagai bahan baku obat-obatan. Pemanfaatan gaharu dari tahun ke tahun terus meningkat. Pemanfaatannya yang sangat luas membuat harga gaharu terus meningkat dari waktu ke waktu. Sekitar 6 tahun lalu, harga gubal gaharu kelas super sekitar Rp. 1 juta sampai Rp. 1,5 juta per kilogram. Harga ini jauh lebih meningkat sekarang ini, harga gubal gaharu sudah mencapai Rp 5 juta per kilogram. Dalam setiap pohon yang mencapai umur delapan sampai 10 tahun bisa menghasilkan tiga sampai lima kilogram gubal gaharu, sehingga dalam satu pohon saja, masyarakat bisa berpenghasilan antara 15 juta sampai 25 juta. Kendati pemanfataan gaharu berlangsung cepat, namun proses pembentukan gaharu masih lambat sehingga diperlukan teknologi yang dapat mempercepat terbentuknya gaharu. Maka itu, peneliti DR. Ir Abdurrani Muin, MS melakukan penelitian berjudul Teknologi Percepatan Pembentukan Gubal Gaharu Pada Pohon Penghasil Gaharu. Penelitian yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Daerah Ketapang dengan Lembaga Penelitian Universitas Tanjungpura ini dilakukan di Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang. Percepat Terbentuk Gubal dengan Inokulan Salah satu teknologi yang digunakan untuk mempercepat terbentuknya gubal gaharu adalah dengan inokulasi cendawan pembentuk gaharu. Peneliti, Dr Ir H Abdurrani Muin menjelaskan inokulasi merupakan cara menularkan suatu jasad renik (mikroba) kepada individu lainnya. Cendawan pembentuk gaharu berupa jasad renik atau mikroba yang akan merubah ekstraktif dalam bagian berkayu pohon-pohon, yang dapat menghasilkan gaharu menjadi ekstraktif yang beraroma gaharu. �Tujuan dari inokulasi ini yaitu agar proses pembentukan gaharu pada pohon gaharu menjadi lebih cepat. Inokulasi dilakukan dengan memasukan inokulan yang telah dikembangbiakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Untan ke dalam batang pohon gaharu,� jelas Abdurrani. Inokulan yang digunakan berasal dari genus Fusarium sp. Genus ini sudah banyak dikenal sebagai cendawan yang dapat membentuk gubal gaharu kualitas tinggi. Abdurrani menjelaskan tahapan dimulai dengan melakukan pengeboran menggunakan bor listrik dan dibantu dengan generator sebagai penggerak bor. Kedalaman lubang bor bervariasi tergantung diameter atau keliling pohon yang akan dibor. Semakin besar pohon yang dijadikan sampel dalam inokulasi, maka lubang pengeboran akan semakin dalam. Lubang bor yang dibuat dalam penelitian ini berkisar antara 5 cm sampai 15 cm.
Budidaya Gaharu
Jum'at, 04 Maret 2005 06:17 WIB
Provinsi Bengkulu Budidayakan Tanaman Kayu Gaharu
(ivan / MI)
JAKARTA - MI: -->
BENGKULU—MIOL: Pemprov Bengkulu sejak tahun lalu mulai mensosialisasikan usaha budidaya kayu gaharu (aquilaria malacensis), untuk dijadikan andalan pendapatan non kayu di masa mendatang.
Kayu gaharu merupakan satu hasil hutan non kayu mengandung damar wangi (aromatic resin) dan bisa dijadikan sebagai komoditi elit bernilai ekonomi tinggi, kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Ir Soegito, Kamis.
Menurut dia, usaha budidaya dan pengembangan kayu gaharu dapat dilakukan dengan berbagai pola, terutama dengan mengoptimalkan ruang tumbuh hutan dan lahan, khususnya pada wilayah yang sangat potensial bagi perkembangan jenis kayu tersebut.
Ia menyatakan budidaya gaharu bisa berhasil secara berkelanjutan jika disertai dengan upaya pemberdayaan kelompok tani, kemitraan dan peningkatan daya saing yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Karas/gaharu yang bernilai ekonomis tinggi itu sedikitnya terdapat pada sedikitnya 16 jenis kayu, di antaranya aqualaria hirta, aqualaria beccariana dan gyrinops Spp yang banyak tumbuh di 18 provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Inventarisasi Litbang Depertemen Kehutanan, katanya, jenis kayu gaharu tumbuh secara alami di Indonesia dengan luas seluruhnya sekitar 4,8 juta Ha, terdapat di 18 provinsi, di antaranya kawasan hutan Sumatera Utara, Riau, Sumbar, Jambi dan Bengkulu.
Selain itu, tanaman itu juga tumbuh subur di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, irian Jaya dan Papua.
Usaha budidaya kayu garahu sekaligus mencegah kepunahan karena pengambilan jenis kayu tersebut sudah berjalan sejak lama oleh masyarakat.
Getah kayu gaharu yang lebih dikenal dengan karas itu, harga jual pada tingkat pedagang pengumpul mencapai Rp15 juta/Kg. Karas dapat digunakan selain untuk obat-obatan juga parfum dan kosmetik.
Untuk industri farfum, gaharu digunakan sebagai komponen minyak wangi dan pengharum ruangan, sedangkan di sektor pengobatan dapat menyembuhkan penyakit kuning, ginjal dan obat penenang.
Pohon gaharu yang mempunyai karakteristik yang rimbun dan berakar dalam, juga mempunyai fungsi ekologis dari aspek konservasi tanah dan air.
Drs Yana Sumarna dari Litbang Hutan Konservasi Alam Departemen Kehutanan belum lama ini mengatakan, pengembangan budidaya gaharu sebaiknya dilaksanakan melalui penanaman secara swadaya oleh masyarakat dan dimasukan dalam program pemerintah.
Departemen Kehutanan, katanya, sudah melakukan penanaman gaharu bekerjasama dengan Universitas Mataram seluas 132 Ha di Desa Senaru Kabupaten Lombok Barat sejak tahun 1999.
Pohon gaharu rencananya akan dijadikan tanaman unggulan spesifik dalam proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), pada tahap awal akan dibuat daerah percontohan di enam provinsi, yakni Jambi, Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.
Pada tahun 2004 baru diadakan di dua provinsi, yakni Kalimantan Selatan dan Jambi, selebihnya dilakukan pada tahun berikutnya.
Tujuan ekspor gaharu Indonesia diutamakan ke Eropa, Arab dan Cina. Tahun 2003 produksi gaharu jenis aquilaria malacensis sebanyak 50 ton/tahun dan jenis A.filaria 125 ton/tahun dengan harga rata-rata Rp10 juta/Kg. (Ant/O-2)
Provinsi Bengkulu Budidayakan Tanaman Kayu Gaharu
(ivan / MI)
JAKARTA - MI: -->
BENGKULU—MIOL: Pemprov Bengkulu sejak tahun lalu mulai mensosialisasikan usaha budidaya kayu gaharu (aquilaria malacensis), untuk dijadikan andalan pendapatan non kayu di masa mendatang.
Kayu gaharu merupakan satu hasil hutan non kayu mengandung damar wangi (aromatic resin) dan bisa dijadikan sebagai komoditi elit bernilai ekonomi tinggi, kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Ir Soegito, Kamis.
Menurut dia, usaha budidaya dan pengembangan kayu gaharu dapat dilakukan dengan berbagai pola, terutama dengan mengoptimalkan ruang tumbuh hutan dan lahan, khususnya pada wilayah yang sangat potensial bagi perkembangan jenis kayu tersebut.
Ia menyatakan budidaya gaharu bisa berhasil secara berkelanjutan jika disertai dengan upaya pemberdayaan kelompok tani, kemitraan dan peningkatan daya saing yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Karas/gaharu yang bernilai ekonomis tinggi itu sedikitnya terdapat pada sedikitnya 16 jenis kayu, di antaranya aqualaria hirta, aqualaria beccariana dan gyrinops Spp yang banyak tumbuh di 18 provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Inventarisasi Litbang Depertemen Kehutanan, katanya, jenis kayu gaharu tumbuh secara alami di Indonesia dengan luas seluruhnya sekitar 4,8 juta Ha, terdapat di 18 provinsi, di antaranya kawasan hutan Sumatera Utara, Riau, Sumbar, Jambi dan Bengkulu.
Selain itu, tanaman itu juga tumbuh subur di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, irian Jaya dan Papua.
Usaha budidaya kayu garahu sekaligus mencegah kepunahan karena pengambilan jenis kayu tersebut sudah berjalan sejak lama oleh masyarakat.
Getah kayu gaharu yang lebih dikenal dengan karas itu, harga jual pada tingkat pedagang pengumpul mencapai Rp15 juta/Kg. Karas dapat digunakan selain untuk obat-obatan juga parfum dan kosmetik.
Untuk industri farfum, gaharu digunakan sebagai komponen minyak wangi dan pengharum ruangan, sedangkan di sektor pengobatan dapat menyembuhkan penyakit kuning, ginjal dan obat penenang.
Pohon gaharu yang mempunyai karakteristik yang rimbun dan berakar dalam, juga mempunyai fungsi ekologis dari aspek konservasi tanah dan air.
Drs Yana Sumarna dari Litbang Hutan Konservasi Alam Departemen Kehutanan belum lama ini mengatakan, pengembangan budidaya gaharu sebaiknya dilaksanakan melalui penanaman secara swadaya oleh masyarakat dan dimasukan dalam program pemerintah.
Departemen Kehutanan, katanya, sudah melakukan penanaman gaharu bekerjasama dengan Universitas Mataram seluas 132 Ha di Desa Senaru Kabupaten Lombok Barat sejak tahun 1999.
Pohon gaharu rencananya akan dijadikan tanaman unggulan spesifik dalam proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), pada tahap awal akan dibuat daerah percontohan di enam provinsi, yakni Jambi, Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.
Pada tahun 2004 baru diadakan di dua provinsi, yakni Kalimantan Selatan dan Jambi, selebihnya dilakukan pada tahun berikutnya.
Tujuan ekspor gaharu Indonesia diutamakan ke Eropa, Arab dan Cina. Tahun 2003 produksi gaharu jenis aquilaria malacensis sebanyak 50 ton/tahun dan jenis A.filaria 125 ton/tahun dengan harga rata-rata Rp10 juta/Kg. (Ant/O-2)
Perintis Lingkungan
Perintis Lingkungan:
THERESIA MIA TOBI
Rt. 13/RW 06, Dusun Bawalatang, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur
Gaharu, potong satu tanam seribu
Seperempat abad yang lalu, gaharu (Aquilaria spp) banyak dijumpai dan tumbuh nyaris tanpa gangguan di hutan Indonesia. Gubal atau getah gaharu mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai bahan baku berbagai jenis wewangian seperti dupa atau hio, parfum, dan obat tradisional. Inilah yang kemudian mendorong perburuan gaharu secara besar-besaran sejak tahun 1970-an untuk diekspor ke luar negeri.
Di saat itu, terjadi pula penebangan sia-sia, artinya banyak pohon gaharu yang tidak mengandung gubal ditebang dan mati. Akibatnya, 10-15 tahun kemudian tanaman gaharu di Indonesia semakin langka dan terancam punah, keadaan ini diperparah dengan belum dikenalnya teknik budi daya gaharu oleh masyarakat.
Di dusun Bawalatang, desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, kabupaten Flores Timur yang lahannya bergelombang, berbukit dan di sana-sini terjal, seorang ibu rumah tangga, Theresia Mia Tobi mempunyai perhatian besar dan meluangkan waktunya untuk melakukan budi daya gaharu. Usahanya dilakukan sejak tahun 1993 mulai dari pembibitan dan penangkaran, penanaman dan perawatan. Ibu Theresia melakukan ini dengan hati yang ikhlas dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk selalu wajib menyintai lingkungan.
Dengan dukungan keluarga, orang tua dan dibantu anggota kelompok dani serta aparat desa, Ibu Theresia tanpa kenal lelah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat melalui penanaman pohon dengan semboyan ”bila satu pohon ditebang, akan diganti dengan penanaman seribu pohon”. Kepercayaan masyarakat kepada Ibu Theresia dapat diukur dari keikutsertaan seluruh warga Desa Nawakote kemudian melakukan pembitan, penangkaran dan penanaman gaharu di pekarangan rumah maupun areal hutan.
Karena ternyata mendatangkan nilai ekonomis yang cukup banyak, Ibu Theresia Mia Tobi kemudian membagikan tidak kurang dari 11.000 bibit gaharu kepada masyarakat Desa Nawakota, Yayasan Tana Abab, Kelompok Tani Nelayan Watebula Sumba Barat, Yayasan Yaspensel Diosis Larantuka, Kelompok Tani Taw Tana, Uskup Weetebula, Mantan Bupati Flores Timur, Drs. Hendrikus Henkin, dan Kelompok Tani Gaharu di Kemaebang Desa Nawakota.
Dengan segala keterbatasannya, Ibu Theresia juga menanam berbagai tanaman kayu-kayuan seperti mahoni, ampupu, gamalina, selain tanaman perkebunan seperti ciklat, vanili, kemiri, kelapa, pisang, dan lain-lain.
Penanaman berbagai komoditas mencakup 3 hektar di areal sekitar permukiman, dan penghijauan telah menjadikan asri dan sejuk 30 hektar lahan kritis di Desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, Kabupaten Flores Timur.
Karena prestasi dan popularitasnya, Ibu Theresia Mia Tobi sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber pada berbagai pertemuan dan sosialisasi yang berkaitan dengan gaharu. Tidak hanya di tingkat desa, permintaan itu juga datang dari Kecamatan, Kabupaten Flores Timur, Dinas Kehutanan, Bappeda dan berbagai kelompok tani di Kabupaten Flores Timur.
THERESIA MIA TOBI
Rt. 13/RW 06, Dusun Bawalatang, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur
Gaharu, potong satu tanam seribu
Seperempat abad yang lalu, gaharu (Aquilaria spp) banyak dijumpai dan tumbuh nyaris tanpa gangguan di hutan Indonesia. Gubal atau getah gaharu mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai bahan baku berbagai jenis wewangian seperti dupa atau hio, parfum, dan obat tradisional. Inilah yang kemudian mendorong perburuan gaharu secara besar-besaran sejak tahun 1970-an untuk diekspor ke luar negeri.
Di saat itu, terjadi pula penebangan sia-sia, artinya banyak pohon gaharu yang tidak mengandung gubal ditebang dan mati. Akibatnya, 10-15 tahun kemudian tanaman gaharu di Indonesia semakin langka dan terancam punah, keadaan ini diperparah dengan belum dikenalnya teknik budi daya gaharu oleh masyarakat.
Di dusun Bawalatang, desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, kabupaten Flores Timur yang lahannya bergelombang, berbukit dan di sana-sini terjal, seorang ibu rumah tangga, Theresia Mia Tobi mempunyai perhatian besar dan meluangkan waktunya untuk melakukan budi daya gaharu. Usahanya dilakukan sejak tahun 1993 mulai dari pembibitan dan penangkaran, penanaman dan perawatan. Ibu Theresia melakukan ini dengan hati yang ikhlas dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk selalu wajib menyintai lingkungan.
Dengan dukungan keluarga, orang tua dan dibantu anggota kelompok dani serta aparat desa, Ibu Theresia tanpa kenal lelah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat melalui penanaman pohon dengan semboyan ”bila satu pohon ditebang, akan diganti dengan penanaman seribu pohon”. Kepercayaan masyarakat kepada Ibu Theresia dapat diukur dari keikutsertaan seluruh warga Desa Nawakote kemudian melakukan pembitan, penangkaran dan penanaman gaharu di pekarangan rumah maupun areal hutan.
Karena ternyata mendatangkan nilai ekonomis yang cukup banyak, Ibu Theresia Mia Tobi kemudian membagikan tidak kurang dari 11.000 bibit gaharu kepada masyarakat Desa Nawakota, Yayasan Tana Abab, Kelompok Tani Nelayan Watebula Sumba Barat, Yayasan Yaspensel Diosis Larantuka, Kelompok Tani Taw Tana, Uskup Weetebula, Mantan Bupati Flores Timur, Drs. Hendrikus Henkin, dan Kelompok Tani Gaharu di Kemaebang Desa Nawakota.
Dengan segala keterbatasannya, Ibu Theresia juga menanam berbagai tanaman kayu-kayuan seperti mahoni, ampupu, gamalina, selain tanaman perkebunan seperti ciklat, vanili, kemiri, kelapa, pisang, dan lain-lain.
Penanaman berbagai komoditas mencakup 3 hektar di areal sekitar permukiman, dan penghijauan telah menjadikan asri dan sejuk 30 hektar lahan kritis di Desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, Kabupaten Flores Timur.
Karena prestasi dan popularitasnya, Ibu Theresia Mia Tobi sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber pada berbagai pertemuan dan sosialisasi yang berkaitan dengan gaharu. Tidak hanya di tingkat desa, permintaan itu juga datang dari Kecamatan, Kabupaten Flores Timur, Dinas Kehutanan, Bappeda dan berbagai kelompok tani di Kabupaten Flores Timur.
JUAL BIBIT GAHARU
Jual Bibit Gaharu
Bagi yang membutuhkan bibit gaharu dari jenis Aquilaria malaccensis Lamk, tinggi 25 cm up (siap tanam), jumlah banyak. (MOHON MAAF, POSTING INI LAGI DALAM PROSES)(habib_aisyah@yahoo.co.id)
Bagi yang membutuhkan bibit gaharu dari jenis Aquilaria malaccensis Lamk, tinggi 25 cm up (siap tanam), jumlah banyak. (MOHON MAAF, POSTING INI LAGI DALAM PROSES)(habib_aisyah@yahoo.co.id)
Langganan:
Postingan (Atom)