Nikmatnya Gaharu, Pahitnya Derita Perempuan Pedalaman Asmat
Kayu gaharu begitu penting bagi masyarakat pedalaman suku Asmat, Papua. Nilai gaharu sampai Rp 10 juta per kilogram untuk yang berkualitas prima. Tetapi, di balik perburuan gaharu tersimpan kekerasan terhadap perempuan. Pemicunya adalah minuman keras yang telah meracuni kehidupan lelaki pedalaman.
Kepala Puskesmas Asgon, Kabupaten Asmat, dr Pratono pekan lalu di Jayapura mengatakan, hampir setiap pekan ada ribuan botol minuman keras (miras) berbagai merek yang masuk Asmat. Minuman ini didatangkan pengusaha gaharu dari Sulawesi dan Surabaya dengan kapal ke berbagai wilayah pedalaman di Asmat dan Mappi. Jenis minuman beralkohol tinggi tertentu bahkan dihargai sampai Rp 1 juta per botol. Miras memicu berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di pedalaman Asmat.
"Dalam satu hari rata-rata kami menangani 3-5 pasien perempuan dan anak-anak yang terluka karena dianiaya suami atau ayah mereka. Ada ibu yang sedang hamil muda, hamil tua, sedang sakit parah, dan balita. Mereka mengalami luka, memar, dan patah tulang akibat penganiayaan dari orang mabuk yang juga anggota keluarga mereka sendiri," kata Pratono.
Pratono beberapa waktu lalu mengobati pelipis dan bahu seorang ibu yang sedang hamil tua. Ibu itu mendapat tiga jahitan di bagian pelipis. Luka-luka itu akibat pukulan suaminya yang baru saja pulang dari kota kecamatan menjual gaharu.
Uang hasil penjualan gaharu dihabiskan suami. Ketika sang istri menanyakan keberadaan uang, tidak ada jawaban memuaskan. Sang suami membela diri dengan mempersoalkan hal-hal sepele di rumah itu. Ujungnya adalah pemukulan terhadap istri.
Tidak ada lembaga atau yayasan yang membantu memperjuangkan hak dan nasib perempuan serta anak-anak di pedalaman, kecuali gereja setempat. Tetapi, kaum pria di daerah itu akan kembali melakukan kekerasan setelah meneguk minuman keras. Bahkan, antara kelompok lelaki dari berbagai suku pun sering terjadi perkelahian massal.
Perkelahian antara kelompok pemuda asal Ternate dan pemuda Buton tahun 2002-2003 yang menyebabkan kerusakan pada sejumlah hotel dan perumahan penduduk di Asgon berawal dari miras dan perebutan lahan gaharu. Ada geng dan kelompok pemuda di pedalaman Asmat dan Mappi, seperti Asgon, Atsy, Fayit, Assue, dan Senggo.
Pembentukan kelompok-kelompok pemuda ini berawal dari kelompok pencari gaharu di daerah itu. Setiap kelompok dipimpin seorang pemuda dengan anggota 5-20 orang. Mereka dibentuk sesuai suku asal, tetapi sering bergabung antara warga pendatang dan suku asli.
Persoalan menjadi rumit ketika kelompok pemuda ini dilanda miras dan mabuk. Hasil penjualan gaharu kepada para pedagang dan pengusaha gaharu digunakan untuk bersenang-senang, minum sampai mabuk, pesta, masuk bar/karaoke, dan mencari pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di daerah itu.
MEMBURU gaharu di pedalaman Asmat biasanya dilakukan oleh kelompok. Selain kelompok pemuda, ada juga kelompok yang terdiri atas anggota keluarga. Bapak, ibu, dan sejumlah anak yang dibantu anggota keluarga lain bergabung mencari gaharu di hutan-hutan. Anak- anak sekolah pun dilibatkan dalam kegiatan itu. Mereka membolos dari sekolah sampai berbulan-bulan dan menetap di hutan. Bagi warga yang tinggal cukup jauh dari kota kecamatan, tugas menjual gaharu diserahkan kepada suami.
Harga gaharu sangat bervariasi, Rp 300.000-Rp 10 juta/kg, tergantung jenis dan kualitas gaharu. Gaharu berkualitas sering disebut jenis super, berwarna hitam mengkilat. Harga gaharu jenis super di pedalaman Asmat sampai Rp 10 juta/kg, dan di luar negeri, seperti Singapura dan Hongkong, mencapai Rp 50 juta/kg. Karena itu, para pedagang gaharu tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan gaharu berkualitas.
Agar tidak rugi, para pedagang ini selalu memantau perkembangan harga gaharu di Singapura, Hongkong, Korea, China, dan Jepang dengan menggunakan telepon satelit.
Jika harga gaharu di luar negeri sedang membaik, berapa pun harga yang diminta para pemilik, pengumpul, dan masyarakat adat di pedalaman Asmat tetap dibayar pengusaha.
Karena itu, sering para pengumpul dan pemilik gaharu mengintip perkembangan harga gaharu di luar negeri melalui para pengusaha dan pedagang di daerah itu. Jika harga gaharu melonjak, mereka akan meminta harga gaharu berkualitas dengan harga lebih dari Rp 10 juta/kg.
BAGI kaum ibu dan anak-anak Asmat, berapa pun harga gaharu yang dijual suami atau ayahnya, mereka tidak pernah menikmati hasilnya meski gaharu itu hasil buruan semua anggota keluarga selama berbulan-bulan di hutan.
Uang hasil penjualan gaharu biasanya digunakan sang suami selama berhari-hari di kecamatan. Ia tidak pulang ke kampung atau ke rumah sebelum uang itu habis dari tangannya. Para suami pergi ke pusat hiburan, seperti bar, diskotek, karaoke, panti pijat, dan miras, yang disiapkan pengusaha/pedagang. Setelah uang di tangan habis, barulah suami-suami itu kembali ke kampung atau rumah kediaman dalam keadaan mabuk. Uang sepeser pun tidak ada di tangan, kecuali beberapa botol miras dan rokok di saku.
Pertengkaran pun tidak dapat dihindari. Istri dan anak-anak yang sudah berkorban di hutan memburu gaharu tidak menikmati sedikit pun hasil jerih payah tersebut.
Tetapi, dalam keadaan mabuk dan penuh emosional, suami itu berupaya membenarkan diri dengan berbagai cara.
Salah satu upaya pembelaan diri adalah melakukan tindak kekerasan terhadap istri dan anak. Banyak kaum ibu dan anak menjadi korban, tetapi tidak terdata.
Salah seorang Kepala Suku Atsy, John Mbulet, membenarkan adanya situasi menyedihkan itu. Kehidupan masyarakat Asmat terpencil di pedalaman dan tidak hidup berkomunitas. Mereka tinggal terpencar sehingga berbagai persoalan keluarga jarang dipantau atau diketahui tetangga (masyarakat) setempat.
Banyak kaum ibu mengadu kepada kepala suku setempat terkait dengan kelakuan sang suami. Bahkan, tidak sedikit kaum ibu lari meninggalkan sang suami karena tidak tahan atas perlakuan sang suami.
Tidak hanya tindak kekerasan, kasus perselingkuhan dengan PSK pun termasuk tinggi. Perselingkuhan terjadi ketika sang suami memiliki uang dalam jumlah besar, yaitu saat sang lelaki menjual gaharu kepada pengusaha/pedagang setempat. Biasanya para pedagang/pengusaha sengaja mendatangkan puluhan PSK yang selalu mengikuti kegiatan para pengusaha itu, termasuk dalam jual-beli gaharu.
Lokasi tempat tinggal pedagang gaharu umumnya sekaligus dijadikan tempat karaoke, diskotek, dan tempat praktik prostitusi. Semua kebutuhan, seperti miras, rokok, makanan, dan kebutuhan lain disiapkan di tempat itu.
BARTER kayu gaharu dengan jasa layanan PSK di pedalaman Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat terjadi mulai tahun 1998. Namun, awal 2003 kegiatan itu mulai menurun. PSK tidak lagi berburu kayu gaharu di hutan-hutan terpencil, tetapi berdiam di kota kecamatan. Namun, itu tidak mengurangi penjualan kayu gaharu yang ditukar dengan jasa layanan para PSK. Puluhan ton kayu gaharu setiap pekan diangkut keluar dari Asmat dan Mappi ke berbagai negara.
Sejak November 2002, ada upaya dari pemerintah daerah setempat untuk memberantas kegiatan itu. Tim dari Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Merauke di bawah pimpinan Wakil Bupati Merauke dr Benyamin Simatupang dengan pesawat khusus turun ke Ecy dan Atsy, berusaha menghentikan sejumlah aktivitas yang terkait dengan praktik prostitusi di pedalaman Merauke.
Awal tahun 2003 Muspida Merauke masuk lagi ke Ecy dan Atsy. Mereka membongkar sejumlah bar dan diskotek di hutan yang juga menjadi tempat praktik prostitusi di daerah itu. Sejumlah pengusaha yang mendatangkan minuman keras diberi peringatan keras. Hotel di tengah hutan, yakni Hotel Jasritio, pun sempat ditutup ketika itu. Hotel ini sebagai tempat transaksi utama pertukaran gaharu dengan jasa PSK.
Tiga pekan kemudian, setelah Muspida kembali ke Merauke, praktik tersebut muncul kembali. Aparat setempat tidak dapat bekerja melanjutkan program dari Muspida Merauke. Bahkan, mereka sendiri pun diduga terlibat dalam kegiatan itu. Mereka justru mendukung para pengusaha gaharu dan tempat hiburan untuk mengaktifkan kembali praktik barter gaharu dengan jasa PSK dan membuka pusat hiburan maksiat di daerah itu.
Kini Atsy dan Ecy telah dipisah menjadi dua kabupaten sejak April 2003. Kedua wilayah ini sebelumnya termasuk dalam kabupaten induk Merauke, dan masuk dalam satu suku besar Asmat. Sesuai suku dan karakter masyarakat, bagian utara Kabupaten Mappi termasuk dalam suku besar Asmat, seperti Asgon (Ecy), Senggo, dan Citak Mitak.
Praktik barter kayu gaharu dengan jasa PSK di Kabupaten Asmat terutama berlangsung di Distrik Atsy dan di Kabupaten Mappi, terutama Distrik Assue dengan ibu kota Ecy atau sering disebut Asgon. Kedua wilayah ini sangat terkenal sebagai sumber gaharu berkualitas. Kualitas gaharu di daerah ini sangat diminati para pedagang dan pengumpul gaharu dari Singapura, Taiwan, Jepang, dan Hongkong dibanding gaharu di daerah lain.
Sekitar 400 pengusaha gaharu menyebar di wilayah ini. Mereka tidak hanya bermodalkan uang, tetapi juga perempuan PSK yang didatangkan dari Merauke, Timika, dan Surabaya, yang sebagian besar telah berusia di atas 30 tahun dan tidak mendapat pelanggan di Merauke atau di Timika.
Menurut Pratono, di Ecy/Asgon terdapat 35 PSK asal Indramayu, Brebes, Lamongan, dan Blitar. Adapun di Distrik Atsy sebanyak 54 PSK dan di Kampung Waganu sebanyak 250 PSK.
Mereka datang bersama para pengusaha atau germo, tetapi sebagian lagi datang sendiri atas ajakan teman atau aparat keamanan. Pengusaha atau germo awalnya menjanjikan pekerjaan kepada para PSK itu sebagai pelayan toko, pengumpul gaharu, dan pekerja hotel dengan gaji di atas Rp 1 juta per bulan, tetapi ternyata mereka tetap dijadikan pekerja seks setiba di sana.
Tragisnya lagi, sekitar lima perempuan PSK di sana berusia 12 tahun, yang juga tiba di sana karena menjadi korban penipuan. Ironisnya, aparat setempat tidak melakukan apa pun terhadap perbuatan perdagangan manusia itu. (KORNELIS KEWA AMA)
sumber: Harian Kompas 29 Maret 2004