Minggu, 07 September 2008



TEKNOLOGI PERCEPATAN PEMBENTUKAN BUDIDAYA GUBAL GAHARU
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) Kabupaten Ketapang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Tanjung Pura telah mengadakan Opservasi dan Presentasi pada tanggal, 7 Desember 2006 dan telah dihadiri oleh beberapa Dinas Instansi terkait.
Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ketapang FARHAN, SE,Msi. Dalam kata sambutannya secara singkat mengatakan bahwa masih adanya sebagian masyarakat di Pedesaan belum memahami cara mengambil Gubal Gaharu, yang sudah bisa diambil / panen. Selanjutnya dikatakan dengan adanya kegiatan Penelitian ini, karena sudah banyak kejadian bahwa sudah banyak jumlah pohon yang ditebang namun tidak terdapat gaharu, karena itu Kepala BAPPEDA mengharapkan Lembaga Penelitian dari Universitas Tanjung Pura agar kegiatan ini bisa bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan untuk mengadakan Penelitian secara terpadu.
Adapun tenaga Penelitian, selaku Ketua Penanggung Jawab, DR,Ir.Abdurrani Muin MS. Mengatakan “kegiatan ini sudah diuji coba di Kabupaten Kapuas Hulu, namun karena di Ketapang terdapat Gubal Gaharu yang asal alami dan asal tebang. Untuk mendapatkan Gubal Gaharu akan diadakan melalui Suntikan Gaharu yang terbuat dari Cendawan yang dikembang biakan. Di Ketapang Gaharu bisa tumbuh diantara Pohon-pohon lainnya seperti : Karet dan tumbuh-tumbuhan, karena pembuatannya sangat mudah dan umur kayu mencapai 5 (lima) Tahun sudah bisa ditebang / panen, dan hasil kayu gaharu ini di Exspor ke Singapura dengan harga yang cukup tinggi. Untuk itu dihimbau pada Masyarakat agar mulai saat ini agar segera menanam Kayu Gaharu di kebun-kebun atau perkarangan karena hasilnya sangat menjanjikan dengan pendapatan yang cukup besar bagi petani dan bisa meningkatkan PAD setempat.
Di Kabupaten Ketapang telah diuji coba di Desa Segagap Kacamatan Nanga Tayap dan sudah mencapai umur 6 (enam) Bulan, di harapkan di Daerah lain agar bisa mengikuti, sehingga beberapa tahun kedepan Ketapang bisa menjadi Daerah Pengexspor Gaharu terbesar ke Singapura. ( T a m r i n ).

Budidaya Gaharu Di TTS Gagal Total
30 Juni 2008 15:13 WIB
SoE, NTT ( Berita ) : Budidaya tanaman gaharu di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) gagal total karena sistem pemeliharaan yang rumit dan tanaman mudah stres di lingkungan baru.
“Kami sudah lakukan budidaya tanaman beraroma wangi itu pada areal sekitar dua hektare, tapi tingkat pertumbuhannya hanya sekitar 10 persen saja,” kata Kepala Dinas Kehutanan TTS, John Christian Mella kepada tim kunjungan kerja DPRD NTT di SoE, ibukota Kabupaten TTS, sekitar 110 km timur Kupang, Senin [30/06] .
Tim kunjungan kerja DPRD NTT yang dipimpin Marthen Asbanu (FPG) itu melihat proyek-proyek bantuan APBD NTT serta menjaring aspirasi rakyat untuk penyusunan anggaran 2009.
Ketika mendengar penjelasan dari Kadis Kehutanan TTS soal sulitnya pengembangan tanaman gaharu, Marthen Asbanu meminta Dinas Kehutanan NTT untuk menghentikan penyaluran bibit gaharu ke TTS untuk menekan anggaran belanja di bidang rehabilitasi hutan dan lahan.
Menurut Mella, pengadaan anakan gaharu itu di daerah Amfoang, sebuah kecamatan di Kabupaten Kupang yang teritorialnya berhadapan langsung dengan negara Timor Leste. “Anakan gaharu itu tidak disemai terlebih dahulu tetapi dicabut kemudian dimasukkan dalam polbet dan langsung didistribusi,” katanya melukiskan kegagalan gaharu di TTS yang pernah dikenal sebagai daerah penghasil kayu cendana terbesar di NTT itu.
Asbanu mengharapkan Dinas Kehutanan TTS terus membudidayakan tanaman cendana untuk mengembalikan kejayaan TTS sebagai daerah penghasil cendana terbesar di NTT.
Mella mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengembangkan tanaman cendana pada areal seluas 10 hektare dengan tingkat pertumbuhan yang cukup menjanjikan.
Tanaman beraroma wangi ini hanya bisa dipanen pada usia pohon di atas 40 tahun terhitung dari masa tanam. “Jika usia pohon cendana sudah di atas 40 tahun maka aroma wanginya sangat terasa jika dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 tahun,” kata Mella.
Tanaman cendana di TTS menjadi nyaris punah karena dalam usia 10 tahun sudah dibabat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena tergiur dengan mahalnya harga komoditas tersebut di pasaran gelap.
“Harga cendana di pasar gelap saat ini sekitar Rp8 juta/kg, sedang di pasaran umum antara Rp2,5 juta sampai Rp3 juta/kg,” katanya melukiskan nafsu orang-orang serakah terhadap harga kayu Cendana sehingga belum memasuki usia panen pun langsung dibabat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. (ant )

Nikmatnya Gaharu, Pahitnya Derita Perempuan Pedalaman Asmat
Kayu gaharu begitu penting bagi masyarakat pedalaman suku Asmat, Papua. Nilai gaharu sampai Rp 10 juta per kilogram untuk yang berkualitas prima. Tetapi, di balik perburuan gaharu tersimpan kekerasan terhadap perempuan. Pemicunya adalah minuman keras yang telah meracuni kehidupan lelaki pedalaman.
Kepala Puskesmas Asgon, Kabupaten Asmat, dr Pratono pekan lalu di Jayapura mengatakan, hampir setiap pekan ada ribuan botol minuman keras (miras) berbagai merek yang masuk Asmat. Minuman ini didatangkan pengusaha gaharu dari Sulawesi dan Surabaya dengan kapal ke berbagai wilayah pedalaman di Asmat dan Mappi. Jenis minuman beralkohol tinggi tertentu bahkan dihargai sampai Rp 1 juta per botol. Miras memicu berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di pedalaman Asmat.
"Dalam satu hari rata-rata kami menangani 3-5 pasien perempuan dan anak-anak yang terluka karena dianiaya suami atau ayah mereka. Ada ibu yang sedang hamil muda, hamil tua, sedang sakit parah, dan balita. Mereka mengalami luka, memar, dan patah tulang akibat penganiayaan dari orang mabuk yang juga anggota keluarga mereka sendiri," kata Pratono.
Pratono beberapa waktu lalu mengobati pelipis dan bahu seorang ibu yang sedang hamil tua. Ibu itu mendapat tiga jahitan di bagian pelipis. Luka-luka itu akibat pukulan suaminya yang baru saja pulang dari kota kecamatan menjual gaharu.
Uang hasil penjualan gaharu dihabiskan suami. Ketika sang istri menanyakan keberadaan uang, tidak ada jawaban memuaskan. Sang suami membela diri dengan mempersoalkan hal-hal sepele di rumah itu. Ujungnya adalah pemukulan terhadap istri.
Tidak ada lembaga atau yayasan yang membantu memperjuangkan hak dan nasib perempuan serta anak-anak di pedalaman, kecuali gereja setempat. Tetapi, kaum pria di daerah itu akan kembali melakukan kekerasan setelah meneguk minuman keras. Bahkan, antara kelompok lelaki dari berbagai suku pun sering terjadi perkelahian massal.
Perkelahian antara kelompok pemuda asal Ternate dan pemuda Buton tahun 2002-2003 yang menyebabkan kerusakan pada sejumlah hotel dan perumahan penduduk di Asgon berawal dari miras dan perebutan lahan gaharu. Ada geng dan kelompok pemuda di pedalaman Asmat dan Mappi, seperti Asgon, Atsy, Fayit, Assue, dan Senggo.
Pembentukan kelompok-kelompok pemuda ini berawal dari kelompok pencari gaharu di daerah itu. Setiap kelompok dipimpin seorang pemuda dengan anggota 5-20 orang. Mereka dibentuk sesuai suku asal, tetapi sering bergabung antara warga pendatang dan suku asli.
Persoalan menjadi rumit ketika kelompok pemuda ini dilanda miras dan mabuk. Hasil penjualan gaharu kepada para pedagang dan pengusaha gaharu digunakan untuk bersenang-senang, minum sampai mabuk, pesta, masuk bar/karaoke, dan mencari pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di daerah itu.
MEMBURU gaharu di pedalaman Asmat biasanya dilakukan oleh kelompok. Selain kelompok pemuda, ada juga kelompok yang terdiri atas anggota keluarga. Bapak, ibu, dan sejumlah anak yang dibantu anggota keluarga lain bergabung mencari gaharu di hutan-hutan. Anak- anak sekolah pun dilibatkan dalam kegiatan itu. Mereka membolos dari sekolah sampai berbulan-bulan dan menetap di hutan. Bagi warga yang tinggal cukup jauh dari kota kecamatan, tugas menjual gaharu diserahkan kepada suami.
Harga gaharu sangat bervariasi, Rp 300.000-Rp 10 juta/kg, tergantung jenis dan kualitas gaharu. Gaharu berkualitas sering disebut jenis super, berwarna hitam mengkilat. Harga gaharu jenis super di pedalaman Asmat sampai Rp 10 juta/kg, dan di luar negeri, seperti Singapura dan Hongkong, mencapai Rp 50 juta/kg. Karena itu, para pedagang gaharu tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan gaharu berkualitas.
Agar tidak rugi, para pedagang ini selalu memantau perkembangan harga gaharu di Singapura, Hongkong, Korea, China, dan Jepang dengan menggunakan telepon satelit.
Jika harga gaharu di luar negeri sedang membaik, berapa pun harga yang diminta para pemilik, pengumpul, dan masyarakat adat di pedalaman Asmat tetap dibayar pengusaha.
Karena itu, sering para pengumpul dan pemilik gaharu mengintip perkembangan harga gaharu di luar negeri melalui para pengusaha dan pedagang di daerah itu. Jika harga gaharu melonjak, mereka akan meminta harga gaharu berkualitas dengan harga lebih dari Rp 10 juta/kg.
BAGI kaum ibu dan anak-anak Asmat, berapa pun harga gaharu yang dijual suami atau ayahnya, mereka tidak pernah menikmati hasilnya meski gaharu itu hasil buruan semua anggota keluarga selama berbulan-bulan di hutan.
Uang hasil penjualan gaharu biasanya digunakan sang suami selama berhari-hari di kecamatan. Ia tidak pulang ke kampung atau ke rumah sebelum uang itu habis dari tangannya. Para suami pergi ke pusat hiburan, seperti bar, diskotek, karaoke, panti pijat, dan miras, yang disiapkan pengusaha/pedagang. Setelah uang di tangan habis, barulah suami-suami itu kembali ke kampung atau rumah kediaman dalam keadaan mabuk. Uang sepeser pun tidak ada di tangan, kecuali beberapa botol miras dan rokok di saku.
Pertengkaran pun tidak dapat dihindari. Istri dan anak-anak yang sudah berkorban di hutan memburu gaharu tidak menikmati sedikit pun hasil jerih payah tersebut.
Tetapi, dalam keadaan mabuk dan penuh emosional, suami itu berupaya membenarkan diri dengan berbagai cara.
Salah satu upaya pembelaan diri adalah melakukan tindak kekerasan terhadap istri dan anak. Banyak kaum ibu dan anak menjadi korban, tetapi tidak terdata.
Salah seorang Kepala Suku Atsy, John Mbulet, membenarkan adanya situasi menyedihkan itu. Kehidupan masyarakat Asmat terpencil di pedalaman dan tidak hidup berkomunitas. Mereka tinggal terpencar sehingga berbagai persoalan keluarga jarang dipantau atau diketahui tetangga (masyarakat) setempat.
Banyak kaum ibu mengadu kepada kepala suku setempat terkait dengan kelakuan sang suami. Bahkan, tidak sedikit kaum ibu lari meninggalkan sang suami karena tidak tahan atas perlakuan sang suami.
Tidak hanya tindak kekerasan, kasus perselingkuhan dengan PSK pun termasuk tinggi. Perselingkuhan terjadi ketika sang suami memiliki uang dalam jumlah besar, yaitu saat sang lelaki menjual gaharu kepada pengusaha/pedagang setempat. Biasanya para pedagang/pengusaha sengaja mendatangkan puluhan PSK yang selalu mengikuti kegiatan para pengusaha itu, termasuk dalam jual-beli gaharu.

Lokasi tempat tinggal pedagang gaharu umumnya sekaligus dijadikan tempat karaoke, diskotek, dan tempat praktik prostitusi. Semua kebutuhan, seperti miras, rokok, makanan, dan kebutuhan lain disiapkan di tempat itu.

BARTER kayu gaharu dengan jasa layanan PSK di pedalaman Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat terjadi mulai tahun 1998. Namun, awal 2003 kegiatan itu mulai menurun. PSK tidak lagi berburu kayu gaharu di hutan-hutan terpencil, tetapi berdiam di kota kecamatan. Namun, itu tidak mengurangi penjualan kayu gaharu yang ditukar dengan jasa layanan para PSK. Puluhan ton kayu gaharu setiap pekan diangkut keluar dari Asmat dan Mappi ke berbagai negara.
Sejak November 2002, ada upaya dari pemerintah daerah setempat untuk memberantas kegiatan itu. Tim dari Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Merauke di bawah pimpinan Wakil Bupati Merauke dr Benyamin Simatupang dengan pesawat khusus turun ke Ecy dan Atsy, berusaha menghentikan sejumlah aktivitas yang terkait dengan praktik prostitusi di pedalaman Merauke.
Awal tahun 2003 Muspida Merauke masuk lagi ke Ecy dan Atsy. Mereka membongkar sejumlah bar dan diskotek di hutan yang juga menjadi tempat praktik prostitusi di daerah itu. Sejumlah pengusaha yang mendatangkan minuman keras diberi peringatan keras. Hotel di tengah hutan, yakni Hotel Jasritio, pun sempat ditutup ketika itu. Hotel ini sebagai tempat transaksi utama pertukaran gaharu dengan jasa PSK.
Tiga pekan kemudian, setelah Muspida kembali ke Merauke, praktik tersebut muncul kembali. Aparat setempat tidak dapat bekerja melanjutkan program dari Muspida Merauke. Bahkan, mereka sendiri pun diduga terlibat dalam kegiatan itu. Mereka justru mendukung para pengusaha gaharu dan tempat hiburan untuk mengaktifkan kembali praktik barter gaharu dengan jasa PSK dan membuka pusat hiburan maksiat di daerah itu.
Kini Atsy dan Ecy telah dipisah menjadi dua kabupaten sejak April 2003. Kedua wilayah ini sebelumnya termasuk dalam kabupaten induk Merauke, dan masuk dalam satu suku besar Asmat. Sesuai suku dan karakter masyarakat, bagian utara Kabupaten Mappi termasuk dalam suku besar Asmat, seperti Asgon (Ecy), Senggo, dan Citak Mitak.
Praktik barter kayu gaharu dengan jasa PSK di Kabupaten Asmat terutama berlangsung di Distrik Atsy dan di Kabupaten Mappi, terutama Distrik Assue dengan ibu kota Ecy atau sering disebut Asgon. Kedua wilayah ini sangat terkenal sebagai sumber gaharu berkualitas. Kualitas gaharu di daerah ini sangat diminati para pedagang dan pengumpul gaharu dari Singapura, Taiwan, Jepang, dan Hongkong dibanding gaharu di daerah lain.
Sekitar 400 pengusaha gaharu menyebar di wilayah ini. Mereka tidak hanya bermodalkan uang, tetapi juga perempuan PSK yang didatangkan dari Merauke, Timika, dan Surabaya, yang sebagian besar telah berusia di atas 30 tahun dan tidak mendapat pelanggan di Merauke atau di Timika.
Menurut Pratono, di Ecy/Asgon terdapat 35 PSK asal Indramayu, Brebes, Lamongan, dan Blitar. Adapun di Distrik Atsy sebanyak 54 PSK dan di Kampung Waganu sebanyak 250 PSK.
Mereka datang bersama para pengusaha atau germo, tetapi sebagian lagi datang sendiri atas ajakan teman atau aparat keamanan. Pengusaha atau germo awalnya menjanjikan pekerjaan kepada para PSK itu sebagai pelayan toko, pengumpul gaharu, dan pekerja hotel dengan gaji di atas Rp 1 juta per bulan, tetapi ternyata mereka tetap dijadikan pekerja seks setiba di sana.
Tragisnya lagi, sekitar lima perempuan PSK di sana berusia 12 tahun, yang juga tiba di sana karena menjadi korban penipuan. Ironisnya, aparat setempat tidak melakukan apa pun terhadap perbuatan perdagangan manusia itu. (KORNELIS KEWA AMA)
sumber: Harian Kompas 29 Maret 2004
Penanaman Pohon Gaharu
GAHARU merupakan gumpalan berbentuk padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam, berbau harum jika dibakar. GAHARU terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis pohon penghasil GAHARU yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Beberapa jenis pohon penghasil GAHARU antara lain adalah Aquilaria spp., Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonystylus.Pemanfaatan GAHARU di Indonesia oleh Masyarakat Pedalaman Sumatera dan Kalimantan, telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional GAHARU dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini pemanfaatan GAHARU telah berkembang sangat luas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan.Akibat dari pola pemanenan yang berlebihan dan perdagangan GAHARU yang masih mengandalkan pada alam, maka jenis-jenis tertentu (seperti Aquilaria dan Gyrinops) saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES).Guna menghindari pohon penghasil GAHARU tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu upaya konservasi, baik in-situ (di dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya, serta rekayasa untuk mempercepat produksi GAHARU dengan teknologi induksi (inokulasi). Oleh karena itu, pengembangan budidaya GAHARU ke depan, selain untuk konservasi, juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pemerintah daerah, dan devisa bagi negara.Informasi yang bersifat “RAHASIA”, yaitu Perhitungan Kasar/Konservatif terhadap Usaha Ekonomi Budidaya Gaharu pada luasan 1 hektar dengan 1000 Pohon Gaharu selama 10 tahun, hanya memerlukan biaya sebesar Rp. 80 Juta, tetapi dapat menghasilkan penghasilan Rp. 2,8 Milyar. Luar Biasa Khan. Apalagi juga dapat menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia, dengan mencegah punahnya Pohon-pohon penghasil Gaharu.Kegiatan Penanaman Pohon GAHARU sebagai Batas Kawasan TWA Gunung Baung ini bertujuan untuk membangun kembali atau mempertegas kembali batas kawasan konservasi di lapangan, sehingga batas kawasan TWA Gunung Baung dapat diketahui secara pasti dan dapat dilihat dari jauh.Selain bertujuan sebagai batas kawasan, Penanaman Pohon Gaharu ini juga ditujukan sebagai Percontohan Budidaya GAHARU (Alternatif Usaha Ekonomi Kehutanan Produktif ber Pasar Eksport) dengan Teknologi BIO INDUKSI.Budidaya GAHARU di TWA Gunung Baung ini merupakan Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Sekitar TWA Gunung Baung yang berpola Bapak Angkat. Bapak Angkat membantu Modal, Manajemen, Teknologi dan Pasar. Selain itu, Penanaman Pohon GAHARU ini akan dikemas dalam kegiatan penanaman oleh Para Wisatawan/Pengunjung/Siswa Sekolah. Pohon yang ditanam tersebut akan berpapan nama PENANAM-nya, dan setiap 6 bulan Para Penanam-nya akan memperoleh informasi dan foto perkembangan pohon-nya (ADOPT TREE) melalui Email.Demikian juga setelah Pohon Gaharu berumur 5-6 tahun atau berdiameter 10-15 cm, Para Wisatawan/Pengunjung/Siswa Sekolah dapat melakukan INDUKSI JAMUR Penghasil Gaharu, yang perkembangan hasilnya juga akan diinformasikan kepada Pelaku Induksi-nya melalui Email. (DIKUTIP DARI: BAUNG CAMP)
Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit
JAKARTA – Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria. Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini sebagai obat. Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker. Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia. Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu. Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg)

DIKUTIP DARI : Copyright © Sinar Harapan 2003